Ran berjalan meninggalkan gerbang SD Pararaton dengan jejak air mata mengering di kedua pipinya. Tangan kanannya menggenggam boneka jelangkung. Langkah kakinya panjang-panjang dan tampak terburu-buru, setengah berlari. Ran ingin cepat-cepat enyah dari sini.
Penampakan bocah SD dengan boneka pemanggil hantu di tangan otomatis menjadi pemandangan gratis setiap orang yang lewat—kebanyakan adalah siswa lain SD Pararaton, yang memang sudah termakan gosip sebaran Didi CS bahwa Rantika Arum Kuncoro adalah anak keluarga dukun.
Butuh menebalkan mental agar Ran tidak terisak lagi sepanjang perjalanan pulang. Sesampainya di halaman rumah, barulah emosinya tumpah.
"HUAAAAA!!!" Ran memuaskan tangisnya begitu tiba di pendopo depan rumah Joglo Pangrawit itu.
Bunda tampak melepas sepatu kerjanya, menandakan baru saja tiba dari kampus. Eyang Putri sibuk menyiram tanaman di taman depan, sementara Bulik Jani baru saja melepas kacamata baca dan menggenggam bendelan skripsinya yang tercoret revisi di mana-mana, dengan judul 'An Analysis of Supernatural Power in R. L. Stine Novel Series: Fear Street Based on Javanese Belief'.
Semua orang itu—minus Ayah yang sedang dinas di kantor real estat—sontak memperhatikan Ran yang kacau-balau.
"D—Didi... ngilokno (mengolok-olok) Ran di depan anak-anak sekelas...." Gadis itu menjelaskan sambil terisak.
Sudah jadi konflik bertahun bahwa Ran tidak cocok satu lingkungan dengan Didi, keponakan kepala sekolah. Bagaikan predator dan kelinci jinak, Ran tidak bisa melompat terlalu jauh. Empat tahun gadis kecil itu menahan diri, baru kali ini keluarga Kuncoro melihat ulah Didi separah ini.
"Terus ini bonekanya kenapa dibawa pulang tho, Nduk?" tanya Eyang Putri sambil meraih jelangkung dari tangan mungil Ran.
"Itu... apa... ada yang nempel, Yang Uti...?" tanya Ran dengan mata berkaca-kaca.
Sang Eyang meneliti boneka tersebut, lalu menggeleng perlahan.
"Ndak ada apa-apa ini, Nduk. Mboten enten sing katut (tidak ada yang terikut), manggilnya kurang niat." Serta-merta nenek Ran membuang boneka kayu itu ke sudut halaman, tempat daun-daun kering sudah tertumpuk dan siap dibakar.
"Beneran, Yang Uti?" Mata Ran masih tertuju pada boneka yang kini berstatus sebagai onggokan sampah. "Nggak ada arwah yang... kepanggil? Kangmas, misalnya?"
Sang nenek hanya menggeleng dengan pandangan sedih bercampur khawatir. Wanita tua itu sudah kepalang hafal dengan pribadi Ran yang selalu mengharap kehadiran sosok kakak, atau teman, atau apa saja—bahkan dedemit.
Ajeng, ibunda anak itu, berjongkok di depan buah hatinya dengan pandangan mata yang tak kalah khawatir.
"Ran beneran nggak apa-apa?" tanya Ajeng.
Ran hanya menunduk. Lalu perlahan, anak itu mengumam, "Bun... Ran nggak boleh pindah sekolah, ya?"
Dari dalam ruang tamu rumah, melalui pintu kayu ganda yang terbuka, Bulik Jani memperhatikan drama itu dengan air muka masam. Dia sendiri sudah lupa harus merevisi skripsi di bagian mana.
**
Sebagai bungsu dari dua kakaknya; Ayuning dan Ajeng, Anjani merasa kehadiran keponakan kecil di rumah itu—Ran—jelas menambah keramaian, mewarnai hidup yang biasanya membosankan. Seperti mendapatkan teman bermain yang membenarkan sikap kekanak-kanakan Jani, bulik (ibu cilik) calon sarjana dan keponakan SD-nya itu satu frekuensi.
Awalnya, Jani berpikiran seperti orang dewasa biasa, bahwa ultimatum bocah berusia sebelas tahun tak akan mempunyai efek begitu besar dalam pengambilan keputusan orang tuanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
La Tubéreuse
ParanormalRan hanya menginginkan dua hal dalam hidupnya; bisa melihat hantu, dan tahu rasanya punya kakak. Tumbuh dalam didikan trah Kuncoro, famili Jawa klenik yang bisa melihat makhluk gaib, Ran merasa kesepian karena dia satu-satunya manusia 𝘯𝘰𝘳𝘮𝘢𝘭...