Selin terlihat rapuh. Sungguh, ini pertama kali dalam hidup Ran melihat sahabatnya tampak separah ini.
Wajah manis Selin yang biasanya berseri kini padam dengan air muka yang lusuh, berhias peluh. Alisnya terpaut, tangannya tak henti memeluk perut, dan mata cemerlang Selin terpejam rapat-rapat.
Ran sedih memikirkan sisa liburan perayaan kelulusan mereka dari sekolah menengah pertama itu telah ambyar di hari pertama. Ditambah melihat kondisi Selin seperti ini, kesedihan Ran jadi berlipat ganda.
"Dia kayaknya kesakitan banget ya, Tante?" komentar Ran yang duduk bersimpuh dekat kaki ranjang, tak putus menatap Selin, seakan hal itu akan meringankan rasa sakit sahabatnya.
"Ya... padahal tadi pagi masih bisa ngomel-ngomel anak ini," ucap Gabriella sambil membelai pelipis putrinya.
Sang mama lantas melanjutkan, "Titip jagain Celine dulu ya, Ran? Tante sama Om mau pergi cari obat."
Ran mengangguk. "Memangnya Selin sakit apa, Tante?"
Gabriella menghela napas. "Belum tau. Mungkin nanti kalau dapat dokter panggilan, Tante bakal bawa ke sini. Kang Tatang lagi cari info katanya."
Ran mengangguk lagi, menandakan kepuasan atas jawaban itu. Puas atas respons orang tua Selin yang benar-benar peduli.
"Tante berangkat dulu." Gabriella berpamitan sebelum membuka pintu. Bertepatan dengan Ajeng yang hendak masuk dengan membawa baskom dan handuk kecil.
"Masih belum turun demamnya?" Terdengar ibunda Ran berbicara dengan nada lirih.
"Mmm-hm," jawab Gabriella. Melihat perlengkapan kompres yang disiapkan Ajeng, perempuan itu melanjutkan, "Makasih ya, Jeng. Aku titip ragilku dulu."
Ajeng mengiyakan dan lanjut berjalan menuju ranjang tempat Selin dibaringkan. Ibunda Ran itu dengan luwes mengompres dahi mulus Selin. Tak lama, peluh dan tetesan air menyatu di pelipis remaja itu. Ran tak putus memperhatikan.
"Selin sakit apa sih sebenernya, Bun?" Ran melontarkan pertanyaan yang sama dua kali.
Ajeng menjawab dengan mengangkat bahu, dan masih fokus mengompres kening Selin.
"Bunda nggak punya temen dokter, ya? Nggak bisa tanya-tanya?" Gadis ikal itu masih kukuh.
"Ya mana Bunda tau, Nduk. Boro-boro dokter, kamu tau sendiri kan teman Bunda banyaknya bukan manusia."
Jawaban Ajeng yang diselipkan nada bercanda itu sama sekali tidak membuat Ran tertawa. Alih-alih, Ran memandang lurus bundanya dengan satu tatapan pasti.
Seketika Ajeng menghentikan gerakannya.
Mata mereka bersirobok. Sebuah pikiran muncul secara bersamaan di dalam benak Ajeng dan Rantika.
Jangan-jangan...
**
"Sakit, Bu..." Anak laki-laki kecil itu memeluk perutnya. Sang ibu mengelus kepala putranya, berusaha menenangkan terlepas dia juga merasakan hal yang sama.
"Sabar ya, Nak, sebentar lagi sakitnya hilang." Ibu itu merebahkan kepala putranya di pangkuan.
Anak itu meringkuk, meringis, dan terus menangis. "Sakit... sakit...." Suaranya lirih hingga berupa gumaman.
Tak lama, terdengar suara muntahan bersamaan dengan anak itu yang menjerit dalam tangis. Bocah sekecil itu baru saja merasakan lilitan hebat dari dalam perutnya. Sisa-sisa busa putih tampak menetes dari sudut bibirnya yang pahit.
"Nggak apa, Nak... nggak apa. Sebentar lagi sudah, nggak sakit lagi." Ibu itu mengulangi kalimat yang sama, mengelus punggung putranya yang masih menangis.
KAMU SEDANG MEMBACA
La Tubéreuse
ParanormalRan hanya menginginkan dua hal dalam hidupnya; bisa melihat hantu, dan tahu rasanya punya kakak. Tumbuh dalam didikan trah Kuncoro, famili Jawa klenik yang bisa melihat makhluk gaib, Ran merasa kesepian karena dia satu-satunya manusia 𝘯𝘰𝘳𝘮𝘢𝘭...