Pagi di kediaman Lafleur-Tan diramaikan dengan suara Celine yang menuruni anak tangga, lengkap dengan koper berwarna pink yang diseretnya. Remaja itu tergopoh sembari mengedarkan pandangan, berharap seluruh anggota keluarganya sudah siap juga.
"I'm all done! Aku sudah siap pergi, Mama. Di mana yang lain?"
Kenyataan yang tersaji membuat Celine cemberut. Di ruang tamu, hanya terdapat mamanya yang sibuk berkutat dengan BlackBerry di tangan.
"Ma? Yang lain ke mana?" Celine mengulangi pertanyaan, berusaha menarik perhatian sang mama.
"Kakakmu masih packing, papamu masih di toko bunga." Gabriella menjawab tanpa memutus kontak mata dari gawai.
"Hah? Kok masih di toko? Kita kan berangkat jam delapan!" Celine mengomel tak terima, terlebih lagi arloji di tangannya menunjukkan angka 7.52.
"Lagi briefing pegawai, katanya. Sudahlah, Celine, ditunggu saja. Nanti juga dia datang." Gabriella menjelaskan seakan tak ada beban sama sekali. Mendengar itu, putri bungsunya langsung cemberut.
"Mama! Kalau kita terlambat gimana?? Kan Papa yang bawa mobilnya!" Nada tinggi Celine membuat Gabriella menurunkan ponsel.
"Kalau kamu sebegitu terburu-burunya, ikut saja mobilnya Om Sakti sana."
Celine membanting kopernya hingga terjatuh ke lantai. Emosinya semakin menjadi.
"KALIAN SEMUA NYEBELIN!" jerit anak itu sebelum lari menaiki tangga ke lantai dua.
Sepeninggal putri bungsunya, Gabriella menghela napas. "Kayak nggak tau aja orang sini punya kebiasaan jam karet," gumamnya.
**
Fortuner hitam yang dikendarai Victor Lafleur menepi di depan kediaman keluarga Kuncoro, 15 menit sebelum jam sembilan. Molornya waktu tiba mereka berdampak pada mood si bungsu yang sudah resmi menjadi kacau. Celine menekuk wajah dan melipat tangan, duduk di kursi belakang, di sebelah kakaknya.
"Sudah siap semua?" Ayah Sakti mengkonfirmasi sekali lagi, memastikan anggota keluarganya sendiri sudah masuk ke dalam mobil kumbang miliknya.
"Siap Ayaaah!" Ran menjawab dengan semangat dari jendela yang terbuka. Ran melambaikan tangan kepada Celine, di mana sahabatnya itu membalas lambaian dengan minat minimalis.
"Kita bisa berangkat sekarang." Gabriella memberi instruksi dari kaca jendela yang diturunkan, tepat di sisi kiri kursi depan mobil Fortuner.
Ayah Sakti mengacungkan jempol, dan beberapa saat kemudian, mobil kumbang melaju lepas memimpin jalan. Perjalanan dua jam 45 menit menuju kota Bandung pun dimulai.
Dua mobil itu membawa dua keluarga dengan atmosfer yang sama sekali beda.
Di mobil kumbang keluarga Kuncoro, suasana riang terlihat dari kaca transparannya, di mana tampak kepala keriting Ran yang bergoyang-goyang, menunjukkan gadis itu sedang—entah menari atau menyanyi—bersama ayah bundanya di dalam mobil.
Sementara di Fortuner Lafleur-Tan yang mengekor tak jauh, suasana terasa muram. Sejujurnya, Matt tak ingat kapan terakhir kali kedua orang tuanya saling bertukar senda gurau. Ditambah lagi, mamanya adalah orang yang kelewat serius. Jarang tersenyum dan tertawa—meskipun sang papa sering melemparkan canda, rasanya jadi tak lucu di hadapan mama.
Matt mengedarkan pandangan ke luar jendela. Setengah jam perjalanan berlalu dari rumah mereka, tiba-tiba lamunan Matt buyar dan cowok itu menepuk kursi depan dengan panik.
"Ma, Mama... kita harus kembali."
"Loh, kenapa?" Gabriella mengawasi putranya dari kaca tengah. Sulung itu tidak terlalu sering mengeluarkan ekspresi ekstrim, tapi kali ini tampak jelas gurat keresahan di wajahnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
La Tubéreuse
ParanormalRan hanya menginginkan dua hal dalam hidupnya; bisa melihat hantu, dan tahu rasanya punya kakak. Tumbuh dalam didikan trah Kuncoro, famili Jawa klenik yang bisa melihat makhluk gaib, Ran merasa kesepian karena dia satu-satunya manusia 𝘯𝘰𝘳𝘮𝘢𝘭...