Kuncup · 19

721 172 26
                                    

"Yang Uti... kenapa sih, orang-orang jahat sama kita?" Ran kecil bertanya pada neneknya.

Suasana Jogja pada Minggu pagi itu sedang mendung. Pendopo rumah joglo menjadi pilihan anggota keluarga Kuncoro untuk menghabiskan waktu bersama, sarapan nasi pecel.

Di tengah kunyahan, Bulik Jani menyeletuk. "Orang-orang pada iri kali, kebun sama tanah Eyang kan luas buanget! Terus kita difitnah deh, dikatain keluarga dukun lah, melihara pesugihan lah, apa lah."

"Hush!" Eyang Putri menegur seketika. Bibi bungsu Ran itu memang lumayan berani mulutnya.

"Emangnya beneran kayak gitu? Bukannya karena kita bisa lihat hantu?" Ran bertanya, tak mampu membendung rasa penasarannya.

Eyang Uti membelai pucuk kepala Ran. Rambut ikal gadis mungil itu melingkar di sekitar dahi.

"Yo ndak tho, Nduk. Biarkan saja orang-orang mau bilang apa, mau melakukan apa. Yang penting Ran baik terus sama orang lain. Ya?"

Wajah Ran mengerucut tak terima. "Nggak adil dong, Yang Uti? Masa kita dijahatin tapi nggak balas... Ran sekali-sekali juga pengen ngelawan!"

"Nah, bagus! Hajar, Ran. Sikat!" Bulik Jani menimpali, sebelum kembali menyuap nasi.

Kali ini Eyang Uti berdecak kesal. "Heh! Ndak ilok (tidak boleh) tho. Ran..." Sang nenek menuntut dagu cucunya agar mereka berhadapan, mengunci perhatian gadis mungil itu dalam satu tatapan.

"Dengarkan Eyang Uti, ya? Kalau kita dijahati orang, ndak usah dilawan. Itu bukan berarti pasrah, tapi menghindari masalah. Ingat, yang harus kita lakukan yaitu menghindar. Paham, nduk?"

Perlahan, Ran mengangguk.

"Apa tadi?"

"Menghindar," ulang Ran.

"Ya, benar. Menghindar kalau dijahati orang."

**

"Hei, Ran. Kok ngelamun?"

Satu suara membawa Rantika kembali ke saat ini. Ujian Bahasa Inggris sudah selesai sedari tadi. Gadis itu kini duduk sendirian di sisi lapangan basket.

"Emmm... nggak, kok... eh, Kak Varda." Ran tersenyum mendapati senior cantik tersebut. "Kak Varda kok belum pulang?" tanya gadis itu saat menyadari arloji tangannya menunjuk angka tiga.

"Habis rapat OSIS barusan. Oh iya, kamu masih ada ujian satu lagi, kan?" Kak Varda duduk di sisi Ran sambil menekuk lututnya.

"Iya, Kak. Mata pelajaran terakhir, IPA."

"Wah, habis itu udah selesai dong, UNAS-nya?"

"Iya." Ran mengangguk dengan antusias, memikirkan beban yang sebentar lagi akan terlepas.

"Wuih, semangat ya! Pasti lega rasanya." Varda tersenyum lebar. "Pengumuman lulus katanya dua minggu lagi kan?"

"Iya, Kak."

"Berarti deadline kita juga dua mingguan lagi..."

"Hm?"

"Deadline buat OSIS, maksudnya... nyiapin acara perpisahan." Kak Varda tersenyum. "Nah, mumpung lagi ngobrol sama kamu nih, nanti pas acara Pensi kamu berharapnya nonton apaan, Ran?"

Si ikal tampak sedikit berpikir. "Apa, ya?" Biasanya, Ran tak ambil pusing masalah pentas seni. Gadis itu sendiri bukanlah penikmat keramaian. "Apa aja, deh," ucap Ran akhirnya.

"Yah, kok random amat jawabnya. Ayo dong, Ran, OSIS lagi butuh masukan nih." Kali ini Varda merangkul pundak Ran, menatap juniornya itu dengan mata memohon.

La TubéreuseTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang