Beberapa hari berlalu, rasa kagum bercampur penasaran Ran akan rumah besar sekaligus penghuninya—baik yang hidup maupun tidak—di sudut blok perumahan ini tak kunjung surut.
Sakti yang belakangan ini sibuk (atau sok sibuk?) di kantor real estat baru juga membuat Ran menaruh curiga, bahwa ayahnya kemarin membual demi mereka tidak pindah ke rumah mahal tersebut.
Keadaan ini membuat Ran tak segan mengadu pada Bunda.
"Kenapa sih, kita nggak jadi orang kaya aja, Bun?" protes Ran saat mereka sedang mempersiapkan perlengkapan sekolah baru. Buku, alat tulis, tas punggung, semuanya baru.
Ajeng mendengkus geli dan menjawab dengan argumen diplomatis.
"Kita ini lebih dari sekadar cukup, Ran. Bunda bisa ngejar gelar doktor, nanti jadi dosen tetap di universitas negeri, nggak jadi honorer lagi. Ran juga nanti masuk sekolah favorit. Apa itu nggak bisa disebut kaya?"
Ran menggerutu, "Tapi rumah kita nggak sebesar rumah yang di pojok situ...."
Ajeng hanya tertawa dan mencubit pipi putrinya. Baru saja sang ibunda hendak memberikan wejangan tentang pentingnya bersyukur, tiba-tiba Sakti mengejutkan mereka dari pintu depan.
"Asalamualaikum! Ran, ikut Ayah, yuk. Kita kenalan sama penghuni rumah besar yang kamu suka itu. Mereka punya dua anak, yang kecil perempuan seumuran kamu, lho!"
Gadis kecil itu langsung pecah atensinya. Menampik kesempatan itu adalah sebuah kemustahilan. Ran, dengan langkah kaki terlalu cepat, sudah meraih tangan Sakti. "Ayo, Ayah!" ucapnya lantang.
Hanya butuh beberapa menit sebelum Ran lagi-lagi melihat rumah istana itu. Kali ini, Sakti menuntunnya melewati pagar, menyeberangi halaman bagai padang rumput yang terawat rapi, dan mengetuk pintu ganda gaharu raksasa yang kemudian terbuka.
"Bonjour (halo), Sakti! Akhirnya kamu berkunjung juga."
Seorang pria bule dengan tinggi hampir dua meter menyambut mereka. Ran sontak terperangah sambil mendongakkan kepala memandang sang tuan rumah.
"O mon Dieu (oh Tuhan), siapa ini? Halo, anak manis!" Raksasa itu berjongkok di hadapan Ran. Logat pria itu aneh, terdengar berat di kerongkongan, tapi bahasa Indonesianya lumayan bersih.
Ran berkedip sekali. Pria itu mempunyai wajah yang dihiasi bulu halus—bukan, bukan jenggot, tapi benar-benar bulu-bulu kecil!—rambutnya pirang cerah sewarna kopi susu yang biasa diseduh Bunda, dan matanya berwarna cokelat muda. Senyum dan wajah pria asing itu tampak ramah.
"Ran, ini Pak Victor." Sakti menyentuh bahu putrinya. "Monsieur (Tuan), ini Rantika, anak saya yang kapan hari saya ceritakan itu...," lanjut Sakti pada pria itu.
"Victor Lafleur. Panggil saja Om Vic. Halo, Rantika." Suara lain menyambut dari dalam rumah.
Ternyata di belakang Victor sudah berdiri seorang wanita. Wajah orientalnya tersenyum, kalimatnya juga ramah, tapi jelas sekali pandangannya tajam, seakan menilai tamunya dari atas ke bawah, mengintimidasi. Ran yang merasa takut pada wanita itu langsung berlindung di balik pinggang ayahnya.
"Ah! Kalau ini, panggil saja Tante Gabi. Istri saya, mamanya anak-anak." Suara hangat Victor kembali terdengar.
Pria super tinggi itu berdiri dan lanjut bicara pada Ran kecil. "Kamu pasti main ke sini untuk bertemu mereka, iya kan, Ran? Sini, sini... ayo masuk." Victor membuka pintu lebih lebar, memberi akses untuk Sakti dan putrinya melangkah ke dalam ruang tamu.
Belum sempat Ran puas terperangah akan kemegahan isi rumah, tiba-tiba sebuah teriakan tegas mengudara.
"MATTÉO! CÉLINE! Cepat kemari, ada tamu!" Lantang suara wanita yang diperkenalkan sebagai Tante Gabi itu menggema di langit-langit rumah yang berbentuk kubah. Seketika Ran bersyukur Bunda-nya tak segalak Tante Gabi.
KAMU SEDANG MEMBACA
La Tubéreuse
ParanormalRan hanya menginginkan dua hal dalam hidupnya; bisa melihat hantu, dan tahu rasanya punya kakak. Tumbuh dalam didikan trah Kuncoro, famili Jawa klenik yang bisa melihat makhluk gaib, Ran merasa kesepian karena dia satu-satunya manusia 𝘯𝘰𝘳𝘮𝘢𝘭...