Sejak Matt bisa menggali ingatan mengenai adiknya, sulung itu selalu merasa bahwa Celine terlahir dengan segala keceriaan yang ada di dunia.
Saat balita, Celine tidak banyak merengek, melainkan lebih sering tertawa. Memasuki hari-hari bersekolah di école maternelle, setara TK di Prancis, Matt ingat bahwa Celine kecil sudah pandai berteman. Saat dijemput oleh papa mereka, Celine akan berlari dan melambaikan tangan, tertawa berpamitan dengan teman-teman dan guru. Semua hal itu dilakukan dengan ceria.
Ketika perusahaan Papa bangkrut, yang terlihat gundah dan cemas di rumah mereka seperti hanya Matt dan mamanya. Entah bagaimana, Papa dan Celine masih bisa tetap riang.
Rupanya senyuman Celine tak luntur meski mereka pindah ke negara terpuruk ini. Dan Matt diam-diam salut akan hal itu.
Tapi perlu disadari, bahwa ada sisi lain dari sikap periang dan outgoing Celine yang menurut Matt cukup... merepotkan.
"Sepertinya dia terlalu perhatian kepada orang asing." Matt menggumam tatkala memperhatikan adiknya membungkus sesuatu ke dalam paper bag.
"Huh?" Celine mengangkat wajahnya sebenar. "Oppa ngomong, barusan?"
Matt berdecak. "Nggak. Nyamuk."
"Oooo." Celine melanjutkan kesibukannya.
Matteo menggelengkan kepala dan mengalihkan perhatiannya pada TV. Channel diganti, volume dinaikkan. Setelah beberapa menit berlalu, terdengar Celine yang mendesis puas.
"Selesai! Oppa, gimana? Bagus ya?" Celine memamerkan paper bag dengan bubuhan baby's breath segar mencuat dari dalamnya.
"Hm. Lumayan." Matt lebih tertarik dengan iklan tak bermutu di televisi.
Sang adik cemberut. "Kamu belum lihat," protesnya.
Melihat respons sang kakak yang masih minimalis, Celine memutuskan untuk tidak berbasa-basi lagi.
"Sekarang antar aku, Matt."
"Ke mana?"
"Rumahnya Ran. Besok kan class meeting, Ran biasanya bingung mau pakai apa. Tiap tahun selalu gitu." Celine menjelaskan sambil menimang-nimang paper bag itu. "Ini momen yang pas banget, ya kan?"
Matt mendengkus. "Lagi-lagi, aku yang direpotkan."
Celin hanya membalas dengan senyuman lebar. "Please?" mohonnya.
Matt tidak menjawab, namun tak ayal pemuda itu bangkit dari duduknya dan mematikan TV.
Melihat itu, Celine langsung tersenyum. "Kamu mau?"
"Hm," gumam Matt. "Aku ambil dompet dulu."
Celine mengerutkan kening.
"Buat apa? Kan cuma ke rumah Ran..." Lalu, detik berikutnya, seakan ingat sesuatu, sang adik melanjutkan, "Oh! Pasti buat ngamanin kertas jimat itu, ya kan? Yang warna kuning itu?"
Matt tertegun karena tidak percaya apa yang baru saja didengarnya. Bagaimana adiknya bisa tahu tentang keberadaan benda tersebut?
"Aku lihat waktu ambil uang kamu buat bayar siomay kapan hari itu. Inget, kan? Lagian jimat apa sih itu, Matt? Penarik rejeki, ya? Atau bawa keberuntungan? Kok tulisannya Cina?"
Celotehan Celine itu membuat Matt bernapas sedikit lega. Setidaknya, adiknya itu tidak benar-benar tahu.
"Bukan apa-apa," ucap Matt cepat.
"Aaah, jinjja (beneran)? Pasti kamu kelamaan main sama Om Sakti nih, diajarin begitu-begituan. Aku pernah denger dari Ran, katanya jimat macem itu nggak boleh dibawa pup, terus harus selalu dibawa ke mana-mana—"
KAMU SEDANG MEMBACA
La Tubéreuse
ParanormalRan hanya menginginkan dua hal dalam hidupnya; bisa melihat hantu, dan tahu rasanya punya kakak. Tumbuh dalam didikan trah Kuncoro, famili Jawa klenik yang bisa melihat makhluk gaib, Ran merasa kesepian karena dia satu-satunya manusia 𝘯𝘰𝘳𝘮𝘢𝘭...