Mobil kumbang yang disupiri Sakti Pamungkas membelah jalanan Jakarta. Ayah Ran itu baru saja menjemput anaknya dari mal.
Di bangku kiri depan, Matt sedang memandang ke luar jendela. Sementara di belakang, Ran dan Selin duduk bersisian, membahas acara menginap mereka malam nanti sebagai tebusan maaf Selin yang tanpa sengaja menelantarkan Ran di bioskop.
"Besok minggu, begadang boleh kan, Yah?" tanya Ran dari kursi belakang, bersahut dengan gumaman 'he'em' yang merupakan persetujuan dari Sakti.
"Yess!" Kali ini Ran beralih pada Selin. "Aku nanti pengen pinjem komputer buat namatin DreadOut, boleh ya?"
"Hiiih, nggak mau! Takut!" Selin langsung menolak mentah-mentah ide tersebut.
Belakangan ini, Ran memang sedang terobsesi dengan gim karya anak bangsa yang sedang mendunia itu. Memang sih, ceritanya bagus dan bikin penasaran, tapi penampakan setan-setannya itu lho! Selin nggak mampu.
"Kalau mau main game hantu-hantuan, main aja sendiri! Aku tinggal tidur." Selin mengultimatum.
Rah tersenyum kecut. Andai laptop orang tuanya lebih canggih dan kuat mengoperasikan gim itu, maka Ran tidak perlu mengharap-harap pinjaman komputer yang ada di rumah Selin.
"Ya udah, nonton drakor aja, mau?" tawar Ran kemudian.
"Drakor apa?"
"Master's Sun."
"Yaaah... hantu lagi." Selin meniup poninya.
Ran hanya tertawa pelan dari kursinya, memikirkan bagaimana menggoda Selin semalaman bisa jadi lebih menyenangkan daripada bermain DreadOut atau menonton film horor. Selin mengingatkan Ran pada bibinya yang ada di Jogja, Bulik Jani. Mereka sama-sama penakut.
Sementara di kursi depan, Matt yang diam-diam mendengarkan, tanpa sadar berdecak pelan.
Ran dan obsesinya pada makhluk astral. Entah kabel mana yang terputus dari jaringan otak gadis itu, hingga bisa-bisanya dia mengabaikan logika untuk menghindari bahaya, dan malah menaruh minat lebih terhadap mereka.
Matt curiga ini karena Ran belum pernah melihat wujud asli makhluk-makhluk itu saja. Ran bisa saja hanya sekadar penasaran. Mungkin rasa penasaran yang tidak tuntas berhasil membuat gadis keriwil itu jadi kurang waras.
Entah bencana apa yang akan terjadi jika Ran sampai tahu rahasia besar Matt, kenyataan yang dipendamnya dalam-dalam di balik sikap dingin dan tak acuhnya. Ah, jangan sampai. Pasti kacau.
Mendadak lamunan Matt harus terputus saat ia terlonjak, merasakan rusuknya dicolek dari samping. Sakti tersenyum ke arahnya. Mobil mereka sedang berhenti tepat di bawah lampu lalu lintas yang menyala merah.
"Jangan ngelamun terus, Matt, nanti kesurupan lho," ujar Sakti.
Matt tersenyum kaku. "Ya, Om."
Sambil menunggu arus lalu lintas lancar kembali, Sakti melanjutkan obrolan. "Kamu pasti heran ya, kok yang jemput kalian dari mal itu Om, bukannya papamu?"
"Mmmm... sedikit." Matt mengaku. "Memangnya Papa ke mana, Om?"
Matt memutuskan untuk merespons lemparan topik dari Sakti, sekadar demi mengalihkan pikirannya dari adik durhaka yang sukses membuatnya 'mengasuh' Ran selama di mal tadi. Matt belum sempat memarahi Selin. Mungkin nanti di rumah.
"Papa kamu nggak bisa jemput karena dia lagi ada interview pegawai baru di toko bunga." Sakti menjawab sambil menginjak gas.
Mobil mereka sedikit terlonjak saat Selin, dari bangku belakang, tiba-tiba mendorong tubuhnya di antara kursi depan.
KAMU SEDANG MEMBACA
La Tubéreuse
ParanormalRan hanya menginginkan dua hal dalam hidupnya; bisa melihat hantu, dan tahu rasanya punya kakak. Tumbuh dalam didikan trah Kuncoro, famili Jawa klenik yang bisa melihat makhluk gaib, Ran merasa kesepian karena dia satu-satunya manusia 𝘯𝘰𝘳𝘮𝘢𝘭...