Adendum: Percakapan Fiksi

913 126 39
                                    

Malam itu langit Jakarta cerah, sayangnya bintang sembunyi dengan sempurna di balik awan polusi. Beruntung jendela KRL di seberangku masih menampakkan potongan bulan yang mengikuti, konstan.

"Ma, fiksi itu artinya apa sih?" ujar gadis kecil yang duduk di sebelahku.

Aku mengabaikannya, membuat gadis berusia enam tahun itu menggoyang lenganku dan mengulangi pertanyaan yang sama.

"Maaa!" rengeknya.

Aku memijit pelipis kepala.

Hari ini sungguh melelahkan. Perjalanan Tanah Abang—PIK yang menghabiskan seluruh siang, juga beban pekerjaan yang berlipat ganda mulai terasa menggerogoti badanku. Belum lagi pertengkaran dengan ayah si kecil yang merongrong dalam sebuah panggilan telepon yang kuangkat diam-diam di tengah rapat, sungguh efektif menguras sisa-sisa energiku. Rasanya tak ada lagi kekuatan untuk meladeni pertanyaan konyol dan remeh dari gadis kecil yang rewel ini.

"Tar dulu, Dek. Mama pusing."

Aku meraih botol minum dari tas kami dan meneguk air banyak-banyak, sementara si kecil memandangiku lekat-lekat seakan menuntut pelunasan hutang. Baiklah.

"Fiksi itu...." Aku mengatupkan mulut, berpikir. "Nggak nyata."

Gadis kecilku ikut terdiam. Matanya yang bening balas menatapku, membuatku secara impulsif merapikan poni manggis yang menutupi keningnya.

"Jadi... fiksi itu bohongan?" tanyanya polos.

Aku sempat terdiam, namun tak ayal mengangguk juga. Toh itu tidak sepenuhnya salah.

"Berarti Mama tukang bohong, dong?"

"Hah? Kok gitu?"

"Iya. Habisnya kan Mama nulis cerita fiksi di Wattpad."

Aku terkekeh. "Ehehe. Bener juga ya."

"Mama nggak takut dosa?" tuntutnya.

Kali ini aku merangkul pundak gadis ini dan mengelus lengannya. "Nggak, Dek. Kadang-kadang orang itu malah seneng dibohongin."

Jawabanku membuat si kecil membulatkan mulut. "Ooo... pantesan orang-orang suka sama cerita Mama yang bohong-bohongan. Kayak ceritanya Ran sama Matt ini ya, yang mau Mama ikutin Wattys tahun ini?"

Aku mengangguk. "He'em."

"Tapi kan, Mama nggak bisa nyelesein cerita itu? Soalnya ceritanya doang yang bohong, tapi hantunya enggak."

Aku berdecak. "Jangan ngomong sembarangan, Dek. Kamu sendiri kan juga fiksi."

**

Hehehe.

Sebenernya aku iseng nulis ini, selawat aja, di tengah-tengah lelahnya ngejar busway dan kereta terakhir di tengah malam :'

Tadinya aku cuma mau share potongan tulisan ini di FB aja, cuma kupikir... sayang ah. Kayaknya kalian bakal sedikit terhibur baca author's note rasa cerpen begini. Hehe.

Semoga yaa.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: May 26, 2023 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

La TubéreuseTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang