Racunnya laki-laki
Datang dari rusuk sendiri**
Sekilas dilihat dari luar, tak ada yang salah dari pernikahan Gabriella dan Victor. Orang tua Matt dan Celine ini masih menjalankan peran masing-masing tanpa kendala berarti.
Namun lihat lebih dekat, sedekat anak-anaknya yang merasakan, maka akan tampak jelas jarak yang semakin renggang membentang. Tak ada sama sekali kata-kata sayang, perhatian-perhatian manis, terlebih lagi kontak fisik.
Malam itu, hampir seperti malam-malam biasanya di kediamannya, Gabriella meluruskan kakinya yang lelah setelah seharian dipingit high heels selama bekerja.
Kamar utama rumah itu kosong. Hanya kasur ganda queen size yang menyambutnya di tengah ruangan. Ruang istirahat yang semestinya dihangatkan dengan keberadaan Victor, suaminya, kini terasa sepi sepenuhnya. Pemandangan yang mulai biasa Gabi jalani.
Miris Gabi mengakui bahwa semenjak pindah ke rumah ini, hanya bisa dihitung jari dia menghabiskan momen hangat layaknya suami-istri di ranjang kamarnya. Bahkan dalam dua tahun terakhir, sama sekali tak ada kontak fisik yang mereka lakukan selain bertegur sapa.
Bukannya Gabi mengharap sentuhan hangat suaminya. Tidak. Wanita itu benar-benar sudah terbiasa. Sudah kebal. Ah, tidak. Lebih tepatnya enggan. Setiap kali Gabi memikirkan apa saja yang mungkin Victor lakukan di luar sana, entah bersama siapa, rasa mual mendadak memenuhi perutnya.
Perasaan yang mengganggu ini membuat Gabi kesulitan tidur. Saat akhirnya lelap menghampiri, mimpi yang menyambanginya adalah adegan sama yang beberapa kali timbul dari alam bawah sadarnya. Memori saat mereka baru pertama berjumpa, hampir dua dekade lalu...
**
Eksotis itu menghipnotis, demikian konsep yang Gabriella pahami telah mendarah daging di pikiran lelaki bernama keluarga Lafleur sejak awal mereka jumpa.
Hampir dua dekade lalu, Gabi pertama kali melihat Victor dan saudaranya membagi-bagikan bunga untuk para penari tradisional pada pekan budaya Asia Tenggara di kota Paris.
Gadis-gadis molek yang berparas eksotis dengan baju kebudayaan Thailand, Filipina, Vietnam, bahkan Indonesia dibuat tersipu-sipu oleh Victor dan Joan, adiknya yang juga menjadi utusan Empire des Fleurs, usaha keluarga mereka di bidang perdagangan flora.
"Anggap saja ini bunga komplementer untukmu, Nona. Terima kasih sudah hadir demikian cantik di hari ini, memanjakan pandangan kami semua."
Joan dengan lihai menarik senyum kharismatiknya, terang-terangan menggombal di depan sekelompok penari Ram Thai asal Thailand. Sandiwara Ramayana itu menyuguhkan seorang Dewi Shinta menjadi diva utama, yang dengan anggun menerima karangan bunga dari Joan berbubuh senyum lebar.
"Terima kasih banyak, Monsieur (Tuan)," ucap perempuan berkostum Dewi Shinta ala Thailand itu dengan bahasa Prancis berlogat kaku.
Joan membalas dengan mencium punggung tangan sang Dewi Shinta.
Gabriella, yang saat itu bertugas sebagai delegasi KBRI di Prancis, hanya memandangi aksi Joan dan penari-penari Thailand itu dari jarak sedang. Dia bertanya-tanya apakah perlakuan mereka akan sama manis dan gombalnya ketika nanti bertemu dengan penari-penari Jawa dengan kostum kemban yang menggoda.
Gabi menggeleng-geleng kepala, merasa pikirannya terlalu ngawur.
"Bonjour, Mademoiselle (Halo, Nona). Anda sendirian?"
Sekuntum bunga iris biru tersodor ke wajah Gabi yang terkejut. Mata sipitnya membundar, mendapati lelaki asing berdiri di hadapannya. Dia adalah Victor.
"Oh, maaf, saya bukan penari." Jawaban Gabi dengan bahasa Prancis yang fasih sukses membuat Victor tercengang.
"Ya, Anda memang tidak tampak seperti penari..." ujar Victor sambil memperhatikan Gabi dari atas ke bawah. Setelan batik dan sepatu hak empat senti yang dikenakannya memang terlalu formal untuk tampil sebagai pengisi panggung. "Tapi demikian, Anda tetap menarik. Sangat cantik."
Gabi tercengang atas pujian di akhir kalimat itu. Victor membawakannya dengan luwes, seakan-akan kalimat itu adalah kosakata yang biasa dibawakan setiap hari. Namun efeknya tidak biasa bagi Gabi, yang seumur hidup merasa tidak terlalu menaruh perhatian pada penampilan, sehingga konsep untuk tampil 'menarik' terlebih 'cantik' seringkali terselip dari kamus dalam kepalanya.
"M... merci (terima kasih)," gumam Gabi sambil menerima uluran bunga iris biru dari tangan Victor.
Itu alah kontak pertama mereka, awal dari pertemuan-pertemuan berikutnya yang membuat Gabi tersanjung sekaligus bingung.
Kenapa Victor menaruh hati padaku?
Pertanyaan itu seringkali muncul setiap mereka selesai kencan. Setiap Victor menggenggam dan mengecup punggung tangannya. Setiap lelaki itu mengatakan bahwa Gabi cantik, menarik, dan pujian-pujian lainnya.
Ternyata jawaban itu kelak akan bocor oleh Joan, adik kandung yang terpilih menjadi best man di hari pernikahan Gabi dan Victor.
"Aku masih tak percaya dengan ini semua," ucap Gabi sambil memperhatikan cincin kawin di jari manisnya. Hari itu adalah pertengahan musim semi yang cerah. Victor sedang menuangkan sampanye ke gelas-gelas tinggi tamu sekaligus teman dekatnya. Sambil memperhatikan lelaki itu, Gabi beralih pada Joan.
"Menurutmu, apa yang dia lihat dariku?" tanya Gabi.
Joan mengelus dagunya yang berjenggot tipis. "Hmmm... Vic itu sebenarnya sangat suka dengan tipe wanita yang kuat, dominan, dan terlihat tangguh. Dan tahukah kau, Gabi? Semua itu ada padamu."
Validasi. Itulah yang dibutuhkan Gabi, yang ternyata diberikan oleh Joan—orang yang paling tidak disangka-sangka.
Menurut hemat Gabi, Joan adalah modelan lelaki buaya darat yang akan dengan ringan mengeluarkan kata-kata manis untuk menggaet perempuan. Itu lah yang Gabi tangkap pada pertemuan pertama mereka, juga pada pertemuan-pertemuan lain dengan aksi Joan pada perempuan-perempuan lain pula.
Gabi beranggapan Joan dan Victor serupa tapi tak sama. Joan yang blak-blakan dan agresif, sementara Victor lebih kalem dan berwibawa. Demikian, perbedaan fundamental di mata Gabi adalah Joan yang suka mempermainkan perempuan, sementara Victor setia hanya pada satu wanita saja—pada dirinya.
Yah, setidaknya dulu Gabi beranggapan demikian. Ternyata waktu membuktikan betapa salahnya pemikiran wanita itu.
Tahun demi tahun hidup bersama, membuktikan bahwa tendensi berpindah hati juga ada Victor, yang selama ini bersikap demikian rapi. Katakanlah itu rasa jenuh, bosan, ingin tantangan atau apa pun. Kini, Gabi bisa melihatnya dengan jelas. Tanda-tanda yang semakin tahun semakin nyata.
Gabriella Tan adalah wanita cerdas. Dia tidak bodoh, lebih-lebih buta. Dia bisa melihat dan merasakan perubahan sikap Victor dari bulan ke bulan. Mulai dari waktu yang semakin renggang mereka habiskan, eksistensi yang semakin jarang di rumah, hingga bau parfum, noda lipstik, dan transaksi-tansaksi ganjil di rekening bank digitalnya.
Ini mulai membuat Gabi merasa muak.
**
Pagi itu Gabriella bangun dengan perasaan yang berbeda. Saat menyiapkan sarapan untuk anak-anaknya, dia baru sadar bahwa Victor tidak tidur di rumah. Lagi.
Ini bukan yang pertama. Setelah belasan tahun membangun biduk rumah tangga, ternyata Victor Lafleur masih tidak berubah juga. Dia tidak bisa mengutamakan prioritas. Dan itu yang tidak bisa Gabi toleransi lagi.
Detik itu juga Gabi menyadari satu hal: bahwa dia sudah tidak mencintai lelaki itu. Tanpa kehadirannya, hidup Gabi dan anak-anak bisa terus berjalan. Pengalaman belakangan ini yang membuktikan.
Maka demikian, Gabi berangkat kerja dengan pikiran yang terbelah, fokus yang terpecah. Pikirannya mulai meramu, merancang kalimat-kalimat yang akan dilontarkannya pada Victor dalam sebuah konfrontasi.
Dalam hati Gabi tahu, dia sadar, bahwa ini sudah saatnya mengambil tindakan tegas.
**
À Suivre.
1051 mots.
KAMU SEDANG MEMBACA
La Tubéreuse
ParanormalRan hanya menginginkan dua hal dalam hidupnya; bisa melihat hantu, dan tahu rasanya punya kakak. Tumbuh dalam didikan trah Kuncoro, famili Jawa klenik yang bisa melihat makhluk gaib, Ran merasa kesepian karena dia satu-satunya manusia 𝘯𝘰𝘳𝘮𝘢𝘭...