Jakarta, 2011
"Wah! Ini rumah kita, Yah, Bun?"
Kaki kecil Ran melompat keluar dari taksi, langsung menjurus ke halaman sebuah rumah satu lantai bercat putih yang minimalis.
Gaya rumah itu sungguh berbeda dari tempat tinggal Eyang Uti di Jogja. Tak ada lagi arsitektur Jawa dalam bangunan megah rumah Joglo. Kini, hunian modern yang asri menyambut mereka.
"Welcome home, Ran." Sakti mengusap rambut gadis kecilnya, membuat senyum lima senti terbit di bibir Rantika.
"Kok sudah rame tamannya, Yah? Ayah yang tanam, ya?" Ran bertanya saat menjelajahi halam rumah itu pertama kali.
Sakti mengangguk sambil menjelaskan, "Iya, Ayah tanami sekalian waktu bangun rumahnya."
Ran tersenyum lebar. Pasalnya, sang ayah adalah arsitek gagal sarjana yang hobi berkebun. Tanaman dan kembang adalah satu-satunya hal yang menghubungkan Sakti dan ibu mertuanya—selain mencintai Ajeng, tentu saja. Itu lah sebabnya, rumah keluarga Kuncoro di Yogyakarta asri dengan penghijauan di taman halaman. Ayah dan Eyang Putri adalah duo green thumb sejati yang kompak berkolaborasi.
Ran menebarkan pandangnya, masih tersenyum begitu lebar saat mendapati beberapa flora yang dia kenali. Tumbuhan yang sama seperti di rumah Jogja.
"Itu pohon cempaka ya, Yah?" tunjuk Ran ke arah pojok halaman.
Sakti mengangguk.
"Kalo itu... jasmine!"
Tebakan Ran berikutnya tepat sasaran, pohon melati bisa dengan mudah dikenali karena sudah berbunga sebagian.
Selanjutnya, Ran mengerutkan dahi pada tumbuhan asing yang ditanam lurus menempel sepanjang pagar, berdiri tegak bagaikan lidi hijau.
"Itu...?" Ran mengerucutkan bibir, tanda menyerah.
"Sedap malam, Nduk. Wajib itu." Kali ini Bunda yang menjawab, tepat setelah menyerahkan koper besar terakhir dari bagasi taksi kepada Ayah.
"Oooo...," gumam Ran. Dia benar-benar miss sama kembang yang satu itu, karena di memori otaknya, sedap malam selalu berwarna putih. Kuncup hijau itu tampak asing tanpa bunga.
Padahal, kata Bunda, sedap malam adalah lambang keluarga Kuncoro. Tolak bala, jalan pulang, dan pertanda tamu datang. Jembatan dua alam, pengingat dan perekat akan daulat Tuhan segala alam. Malam yang wangi, menandakan kuasa-Nya tak pernah lelap. Gusti Allah mboten sare.
"Kalau itu, kates (pepaya) ya, Bun?" Ran menunjuk pohon kurus berbatang lurus di sudut lain halaman. Lebih ke arah samping rumah, menempati sebaris jalan sempit menuju area jemuran di belakang, seakan sengaja untuk tidak dipertontonkan.
"Iya," ucap Ajeng.
"Biar kita nggak disantet orang ya, Bun?" lanjut Ran.
Ajeng langsung bungkam. Kalau bukan karena paksaan ibunya—yang lucunya, berdalih sama persis dengan Ran—maka Ajeng ogah sekali menanam pohon pepaya di halaman rumah.
KAMU SEDANG MEMBACA
La Tubéreuse
ParanormalRan hanya menginginkan dua hal dalam hidupnya; bisa melihat hantu, dan tahu rasanya punya kakak. Tumbuh dalam didikan trah Kuncoro, famili Jawa klenik yang bisa melihat makhluk gaib, Ran merasa kesepian karena dia satu-satunya manusia 𝘯𝘰𝘳𝘮𝘢𝘭...