Mencari momentum untuk bertemu dengan mentor barunya, Tante Ajeng, bukanlah hal sulit bagi Matt.
Sulung keluarga Lafleur-Tan ini hanya butuh menunggu beberapa hari sebelum adiknya merengek minta ditemani ke rumah Ran lagi. Dengan ringan hati, sang kakak menemani.
"Nah, ini dia yang ditungguin Ran dari tadi."
Jani yang kebetulan berada di teras menyambut kedatangan dua Lafleur-Tan bersaudara. Dia kemudian memanggil Ran, sambil menggiring mereka masuk ke dalam rumah.
"Tadi pagi Mbak baru aja selesai packing, kirain kalian nggak jadi datang. Bentar ya, tak ambilin dulu." Jani pamit sebelum pergi ke kamarnya, meninggalkan Matt yang bertanya-tanya.
"Ini ada apa, sih?" Matt menoleh pada adiknya, yang kedapatan sedang berbisik-bisik seru dengan Ran.
Si bungsu menghentikan kegiatannya untuk beralih pada Matt.
"Ini, Mbak Jani udah mau pulang ke Jogja, terus katanya dia mau bagi-bagi make-up buat aku sama Ran. Seru, kan? Eh, Koko tunggu sini aja ya, aku sama Ran mau nyusulin. Yuk, Ran."
"Tapi..." Matt diabaikan. Dua gadis remaja itu sudah hilang di balik pintu kamar tamu.
Cowok itu mengembus napas guna menahan kesabaran. Dia sebenarnya ingin menanyakan keberadaan bundanya pada Ran agar bisa segera menjalankan misi pribadinya
Sekarang, Matt hanya bisa menunggu Ran dan Celine menyelesaikan kegiatan mereka dengan sabar, supaya setidaknya bisa berbicara dengan Mbak Jani mengenai hal ini.
Sambil menunggu, Matt mengeluarkan ponselnya. Dia membuka beberapa artikel mistis dan utas di Twitter, membaca pengalaman orang-orang.
Di tengah-tengah kegiatannya itu, Matt mendengarkan suara motor yang berhenti di depan rumah ini, lalu tak lama pintu depan terbuka. Cowok yang sedang duduk di salah satu sofa ruang tamu itu langsung berhadapan dengan wanita yang sedari tadi ditunggunya.
"Lho, Matt, di sini?" sapa Ajeng sambil melepas sepatu pantofelnya.
"Iya, Tante baru balik dari kampus? Kebetulan banget, sebenernya saya ke sini juga mau ngomong sama Tante."
"Ada apa?" Ajeng duduk di hadapan cowok itu, siap menaruh perhatian.
Matt segera membuka galeri ponselnya dan menunjukkan foto penemuan di toko kepada Ajeng. Wanita itu mendekat, meneliti layar ponsel Matt selama beberapa saat.
"Ini di toko?" ulang wanita itu setelah mendengar penjelasan Matt.
"Iya. Tante tau ini apa?"
Ajeng mengangguk pelan. "Kayaknya... ini canang sari."
Mata Matt berbinar karena akhirnya mendengar jawaban pasti. "Itu buat guna-guna orang ya, Tante? Kayak love pell buat bikin orang jatuh cinta??"
"Eh? Enggak." Ajeng mengembuskan tawa. "Canang sari ini sesajen khas Bali, Matt, bermakna ucapan terima kasih sekligus berserah diri atas materi dan waktu kepada Sang Pencipta."
"Bali?" ulang Matt. "Berarti bukan Tante atau Om Sakti yg naruh?"
Praduga cowok itu berbalas gelengan kepala Ajeng. "Bukan, ini kerjaannya si Lastri. Dia asal Bali, kan? Dia juga udah ijin kok, dan kita juga fine-fine aja dia ngejalanin tradisinya di tempat kerja. Itu tandanya dia sayang sama toko kita."
Kening Matt mengerut. Memang dia sempat menaruh kecurigaan kuat pada pegawai perempuan itu.
"Sesajen kayak ginian nggak bawa efek negatif, Tante? Ini kan, ibaratnya kayak... buffet gratis, makanan buat makhluk halus. Nggak takut bakal ada yang nyangkut di toko?"
KAMU SEDANG MEMBACA
La Tubéreuse
ParanormalRan hanya menginginkan dua hal dalam hidupnya; bisa melihat hantu, dan tahu rasanya punya kakak. Tumbuh dalam didikan trah Kuncoro, famili Jawa klenik yang bisa melihat makhluk gaib, Ran merasa kesepian karena dia satu-satunya manusia 𝘯𝘰𝘳𝘮𝘢𝘭...