Hu (符) dapat diumpamakan (sebagai) suatu kekuatan magis yang terpinjam, dan membentuk lambang. (修道寶鑑 hal. 183)
**
"Yang kamu lihat kapan hari di wisma kita itu kayaknya si Wukong deh, Matt...." William berbisik di dekat telinga Matteo, membuat sepupunya itu menoleh dengan muka bingung.
Mereka sedang menunggu di sebuah ruang dengan tembok bercat merah. Dupa dan lukisan bertuliskan aksara Hanzi terpajang pada dindingnya. Lonceng fengling yang tergantung di langit-langit pintu masuk bergemerincing pelan tertiup angin.
Orang tua Matt, Gabriella dan Victor, tampak sedang berbicara serius dengan wanita muda bersetelan gaun qipao semata kaki.
Sudah beberapa hari belakangan ini William membujuk A Kou-nya, mama Matt, agar membawa sepupunya itu berobat ke paranormal. Dan berhari-hari sejak kejadian di hari upacara Cheng Beng itu juga, Gabriella menolak. Bibi dari William itu juga meminta keponakannya untuk merahasiakan ini. Jika ada anggota keluarga Tan yang bertanya, Gabriella selalu menyuguhkan jawaban yang bersinggungan dengan 'demam' anaknya.
Awalnya, mama Matt itu berpendapat bahwa semua yang dilihat oleh anak sulungnya merupakan halusinasi belaka. Namun, pertahanan Gabriella runtuh saat anaknya sendiri yang memohon padanya, 'Dicoba dulu aja, Mama... please. Aku sudah capek melihat hantu monyet, wanita jelek, dan makhluk berbulu di sekitar wisma ini. Aku ingin ini semua berhenti'.
Nada frustasi dan lelah dari suara serak Mattéo kala itu membuat watak keras Gabriella goyah seketika. Sang mama menjawab, 'Ya... baiklah. Tidak ada salahnya kita coba cara William'.
Maka, di sinilah mereka sekarang, rumah praktik seorang cenayang tersohor di Surabaya, yang biasa dipanggil I'ie (bibi) Jia.
Kini, Matt menoleh pada sepupunya itu. William baru saja menyebutkan salah satu makhluk yang paling sering dilihat Matt di wisma keluarga Tan, si kera jadi-jadian.
"Wukong?" ulang Matt ke arah Willy.
William mengangguk. "Dari nama siluman monyet yang ada di tivi itu, muridnya Biksu Tong."
Matt menggeleng tanda tak mengerti.
"Kamu nggak tau filmnya? Kera Sakti?"
Lagi-lagi, Matt menggeleng.
"Seekor kera, terpuruk terpenjara dalam gua, di gunung tinggi sunyi tempat hukuman para dewa... nggak tau?" William berucap cepat seakan mengingat hafalan lirik lagu rap.
Matt tersenyum, lalu menggeleng untuk ketiga kali.
"Bertindak sesuka hati, loncat kesana kesini, hiraukan semua masalah di muka bumi ini... eh, beneran nggak tau, ya?" William menghentikan rap-nya saat melihat wajah sang sepupu yang tak kunjung tercerahkan itu.
"Yah, intinya, dulu... dulu banget waktu aku masih krucil, masih jadi anak sulung karena belum ada Wendy dan Weslie, aku inget sering liat manusia monyet juga di pohon mangga wisma A Ma." Willy memulai ceritanya.
"Kata Mami, tiap kami berkunjung ke wisma A Ma, aku selalu asyik ngomong sendiri di sekitar pohon mangga itu. Dan tiap ditanya, aku selalu jawab 'lagi main sama Wukong'. Seingatku dulu, memang sosoknya itu mirip banget sama Kera Sakti yang di tivi, dan kebetulan juga itu film favoritku pas kecil dulu. Jadi pantes lah aku kesenengan." William nyengir kuda.
"Terus, sejak kapan kamu nggak ngeliat dia lagi, Koh?" tanya Matt tak sabaran.
"Mmmm... sejak mau masuk SD? Umur tujuh tahun, mungkin? Yah, intinya, aku kira itu tuh imajinasiku pas kecil aja. Cuma pas tahu kamu bisa liat makhluk yang sama, ya... otomatis aku jadi 'klik', gitu."
KAMU SEDANG MEMBACA
La Tubéreuse
ParanormalRan hanya menginginkan dua hal dalam hidupnya; bisa melihat hantu, dan tahu rasanya punya kakak. Tumbuh dalam didikan trah Kuncoro, famili Jawa klenik yang bisa melihat makhluk gaib, Ran merasa kesepian karena dia satu-satunya manusia 𝘯𝘰𝘳𝘮𝘢𝘭...