Kuncup · 15

803 206 9
                                    

Senin siang di kantin Dharma Sunya. Ran mengaduk es jeruknya tanpa selera.

Akhir pekan kemarin, Ran menginap di rumah Selin dan berencana untuk menamatkan game DreadOut yang sudah digadangnya sejak berminggu-minggu lalu. Namun saat berpapasan dengan Matt di dapur rumah keluarga Lafleur-Tan, abang lelaki itu malah memberikan wejangan yang bernada tidak mengenakkan hati, membuat sisa permainan Ran jadi terasa tawar. Padahal, tinggal sedikit lagi Ran bisa mengalahkan Lady in Red, bos besar musuh di dalam gim tersebut.

Apa selama ini aku beneran kelihatan manfaatin Selin doang, ya? pikir gadis itu sambil melirik sekilas sahabat yang duduk di sampingnya itu.

Selin menyuap makan siangnya sambil mengobrol dengan Oliv dan geng VIP. Ran, tentu saja, tidak ikut nimbrung dalam percakapan itu dan lebih memilih untuk berkutat dengan pikirannya saja.

Apa itu sebabnya mereka nggak suka aku?

Kali ini Ran memandangi Oliv, Monic, dan Carol bergantian. Kumpulan remaja pemuja idola Korea itu memang tidak pernah benar-benar ramah pada Ran. Mereka berbagi udara hanya karena ada Selin di tengah-tengahnya.

Makan siang itu berlalu dengan cepat dan sepi untuk Ran. Tau-tau bel berdering dan kelas sudah masuk saja. Dan tau-tau, tanpa dapat menangkap materi pelajaran Matematika, bel berdering lagi dan jam pelajaran sudah berganti menjadi Bahasa Indonesia. Kelas terakhir sebelum pulang.

"Ran." Suara Selin memanggil.

"Hm?" balas Ran, masih setengah melamun.

"Ayo! Nggak denger tadi kelasnya pindah ke perpus?"

Ran mengedarkan pandang dan mendapati sebagian besar isi kelas mereka sudah kosong. Murid-murid 9-Janggala tampak berderap meninggalkan Ran yang merupakan satu-satunya murid yang masih duduk di bangkunya.

"Yuk ah," ajak Selin lagi.

Kali ini Selin mengambil buku paket dan tulisnya dari atas meja, disusul Ran yang tergopoh mengikuti. Dua remaja itu pun menjadi personil terakhir yang keluar, sekaligus yang menutup pintu kelas 9-Janggala.

Sesampainya di perpustakaan sekolah, mereka diberi tugas berkelompok untuk meresensi karya sastra. Satu kelas 9-Janggala terbagi ke dalam beberapa kelompok, yang bebas memilih salah satu cerpen karangan Dee dalam buku Madre.

Karena jumlah buku itu terbatas, setiap kelompok harus mengakali bagaimana cara berbagi porsi cerpen yang hendak mereka resensi. Dari tiga eksemplar, delapan kelompok memilih judul cerpen berbeda dan memotret halaman buku itu dengan kamera ponsel.

"Wajib kalian hapus kalau sudah selesai resensinya, ya, biar nggak terjadi pembajakan!" titah Bu Sut, guru Bahasa Indonesia mereka.

"Iya, Bu...," sahut kelas 9-Janggala dengan nada lebih rendah daripada biasanya. Jika di kelas mereka bebas gaduh dan riuh, maka di perpustakaan ini mereka harus menjaga volume lisan.

Kelompok Ran dan Selin berisi empat orang. Dua mereka, dan dua lagi siswa lelaki; Gibas dan Bima. Mereka semua sepakat menunjuk Selin sebagai ketua. Tentu saja, karena kepintaran dan sifat supelnya.

"Sekarang, aku share fotonya ke group chat kita, terus kalian semua baca. Baca yang bener, ya! Soalnya habis itu kita diskusi inti ceritanya, terus rangkum bareng-bareng. Oke?" Selin membeberkan instruksi sambil mengutak-atik ponselnya. Ran, Gibas dan Bima turut mengecek gawai mereka.

Benar saja, sebuah grup digital sudah terbentuk di sana, dengan empat buah foto terunggah. Masing-masingnya adalah halaman dari salah satu cerpen buku Madre yang dipilih Selin. Kelompok itu pun melaksanakan tugas pertama mereka di perpustakaan. Membaca.

La TubéreuseTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang