Bibit · 6

1.1K 225 34
                                    

Surabaya, Satu Bulan Sebelumnya

Udara panas yang berembus di lapangan aspal Bandara Juanda menjadi penyambut pertama yang mengganggu wajah dan rambut gelap Mattéo Lafleur-Tan.

Baru saja bocah lelaki itu memijakkan kaki dari undakan pesawat, angin kering yang tak bersahabat sudah meniup keringat sebiji timun yang meleleh di pelipisnya lagi.

"Wah! Di sini benar-benar panas!"

Terdengar celetukan ringan dari adik kecilnya, Celiné, yang sedang mengenakan kacamata hitam berbingkai pink dengan logo Barbie di salah satu sudutnya.

Koper pink yang juga bergambar Barbie pirang dengan menara Eiffel di cover-nya terseret tak jauh dari belakang mereka. Papa menyeret dua koper sekaligus di masing-masing tangan; satu koper hitam pekat, jelas miliknya sendiri, dan satu lagi luggage Barbie yang jelas-jelas milik si tuan putri.

"Sangat panas," gumam Matt setuju.

Nadanya lebih terdengar seperti menggerutu, berbanding terbalik dengan sang adik yang malah memejamkan mata dan merentangkan tangan, bergaya ala Rose yang menyambut angin laut di dek kapal Titanic. Bedanya, yang disambut Celiné adalah angin panas kota Surabaya bercampur bau avgas, bahan bakar pesawat.

"Celiné! Dépêchez-vous (buruan)!"

"Venir, Maman (aku datang, Mama)!"

"Cepatlah berburu, Mattéo." Victor, papa dari dua anak itu, menyenggol rusuk Matt dan membisikkan kalimat itu dalam bahasa ibu pertiwi. Nadanya persis meniru sang istri, seakan mengolok-olok duo ibu-beranak itu.

"Non, Papa. Pilih satu saja, mau 'cepetan' atau 'buruan'. Pas les deux (jangan dua-duanya), jadi beda artinya," koreksi Matt atas bahasa Indonesia sang papa yang belepotan.

"Ah, bien (baiklah)."

Keluarga Lafleur sudah latihan berbicara dengan Bahasa Indonesia selama dua bulan sebelum keberangkatan mereka. Bahasa ibu dari nyonya rumah itu menjadi atribut wajib komunikasi sehari-hari, menandakan dedikasi mereka mempersiapkan diri untuk hidup yang baru.

Kebangkrutan Empire des Fleurs, perusahaan ekspor flora besutan Victor, menjadi alasan keluarga itu pindah ke Indonesia. Perencanaan finansial yang ditata berbulan-bulan oleh Gabriella menyimpulkan bahwa tinggal di negara ibu pertiwi merupakan pilihan masuk akal untuk mereka saat ini—dan seterusnya.

"Memangnya keluarga Mama itu beneran kaya ya, Ma?" tanya si bungsu saat mereka baru saja melewati gerbang international arrival. Matt dan ayahnya mengekor di belakang.

"Berhenti bertanya seperti itu, Celiné," jawab Gabriella seraya sibuk dengan ponselnya.

Masih belum menyerah, Celiné kecil menoleh pada abangnya. "Menurutmu kita beneran akan jadi kaya, Koko?"

Matt tidak menyahut. Dia benci panggilan itu, sebuah atribut kekeluargaan yang diwajibkan disebut oleh mamanya; koko dan meimei, bahasa asing baginya dan Celiné untuk menyebut 'abang' dan 'adik'. Konyol. Biasanya, mau memanggil Celiné ya Celiné saja. Pun demikian dengan dirinya, Matt lebih nyaman jika langsung dipanggil nama.

Saat Celiné menanyakan pertanyaan yang sama untuk ketiga kalinya—kali ini pada papanya—perhatian keluarga itu tersedot saat sang mama memanggil.

"Itu mereka!" ucap Gabriella sambil menunjuk sekilas pada mobil yang menepi di trotoar. Sebuah Xenia berwarna hitam.

"Eeeeh? Seriusan? Aku kira kita akan dijemput dengan limosin. Katanya kan, keluarga Tan itu—mppph!"

"Ssstt! Celiné, assez (cukup)." Mulut ceriwis Celiné dibekap oleh kakaknya tepat saat kaca jendela kemudi mobil itu terbuka.

La TubéreuseTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang