Matt bisa mendengar suara langkah kaki dan degup jantungnya sendiri saat menyusuri lorong. Semua kamar tidur vila ini terletak di lantai dua, sehingga Matt bisa mencapai kamar Celine dalam hitungan detik saja.
"Sudah, ini sudah lewat. Kamu sudah nggak apa-apa..."
Terdengar suara menenangkan Ajeng dari dalam kamar. Matt menghentikan langkah tepat di balik pintu yang setengah terbuka.
"Memang harus berpisah sama ibu kamu, tapi nggak apa-apa. Kamu seharusnya sudah nggak di sini lagi. Mau kan, ke tempat yang lebih baik?"
Ajeng membujuk Celine yang sedang dirangkulnya. Celine mengangguk, masih sedikit sesenggukan. Mata Celine sepenuhnya terpejam.
Lantas Ajeng membelai pelipis Celine, perlahan-lahan menempatkan jemarinya di kening remaja itu.
"Lihat itu yang terang? Nah, ikuti saja itu..." Ajeng berbisik di dekat telinga Celine, membuat tangis remaja itu sedikit mereda dan kepalanya lagi-lagi mengangguk.
Perlahan tapi pasti, tangis Celine hilang sepenuhnya. Isaknya turun tempo menjadi napas biasa, bersamaan dengan Ajeng yang menurunkan adik kecil Matt itu ke atas ranjang. Si bungsu tampak tidur dengan damai sekarang.
"Lho, Matt?"
Teguran Om Sakti membuat Matt terperanjat. Ditambah lagi, suami Tante Ajeng itu menarik daun pintu terbuka sepenuhnya. Matt tertangkap basah.
"Eh, Om..." Cowok itu membuka mulut, tapi tidak ada kata-kata yang terpikir untuk diucapnya.
"Kebangun, ya? Sorry kalau kita berisik, ini adik kamu ngigau karena demam. Takut kenapa-napa." Sakti menjelaskan tanpa Matt minta.
"Oh," gumam Matt sambil melirik Tante Ajeng. Di luar dugaan, ternyata Ajeng juga sedang memperhatikannya.
"Sekarang sudah nggak apa-apa, kok." Ajeng berkata lurus pada Matt, membuat cowok itu mengangguk dengan kaku.
"O-oke."
"Kamu balik tidur lagi, sana." Sakti menepuk bahu Matt, mengisyaratkan bahwa urusan mereka sudah selesai. Sulung itu diusir dengan halus.
Setengah hati Matt mengangguk, dan sebelum dia berbalik, dia menyempatkan diri bertanya.
"Mama sama Papa kemana ya, Om, Tante? Mereka belum pulang?"
Ajeng dan Sakti bertukar pandang sejenak.
"Belum. Udah, nggak usah dipikirkan, kamu lanjut tidur aja."
Sial. Kali ini Ajeng yang mengusirnya. Akhirnya Matt undur diri dari depan kamar adiknya dengan perasaan yang masih mengganjal.
Pertama, peristiwa dalam mimpinya itu—kalau bisa disebut mimpi—tampaknya benar-benar terjadi.
Kedua, Tante Ajeng dan keluarganya memegang jawaban atas semua ini, tapi mereka seperti... menyembunyikan? Menutup-nutupi?
Ah, sial. Yang jelas, Matt tidak akan tinggal diam. Tidak jika ini berkaitan dengan adiknya.
Maka dengan itu, Matt mengendap dan berusaha tidak menimbulkan suara, lalu membelokkan langkahnya menuju tangga ke lantai bawah. Ke dapur.
Setibanya di sana, Matt mengamati sekitar. Tempat ini terasa lebih mencekam dari ingatannya, bahkan tanpa suara-suara bocah hantu yang memanggil-manggil sekalipun.
Dengan hati-hati ia mengambil mangkuk dan sendok, menaruh mangkuknya di atas meja dan menuang sereal ke dalamnya, sementara sendok tadi digenggam oleh Matt kuat-kuat, layaknya sedang mengepal belati.
"Kakak, tolongin ibu saya..."
Ingatan bocah hantu itu membuat Matt menahan napas. Cowok itu lalu menunduk, memeriksa bawah meja makan.
KAMU SEDANG MEMBACA
La Tubéreuse
ParanormalRan hanya menginginkan dua hal dalam hidupnya; bisa melihat hantu, dan tahu rasanya punya kakak. Tumbuh dalam didikan trah Kuncoro, famili Jawa klenik yang bisa melihat makhluk gaib, Ran merasa kesepian karena dia satu-satunya manusia 𝘯𝘰𝘳𝘮𝘢𝘭...