Sains dan takhayul adalah dua hal yang berseberangan, dan itu membuat Matt senang.
Setidaknya, sains memberinya validasi dan sedikit jawaban. Dengan menyerahkan diri pada konseling intens dan berkala kepada Bu Ertha—psikolog klinis kepercayaan mamanya—Matt berkesempatan untuk membuktikan pada Gabriella bahwa kondisinya tidak dibuat-buat, dan setidaknya, akan ada orang di dunia ini yang percaya bahwa Matt sedang tidak baik-baik saja.
"Paranoia. Stres berat yang berkepanjangan, lingkungan baru, kehidupan baru... culture shock. Saya yakin pressure-nya nggak main-main, terlebih lagi untuk anak remaja seusia Matteo, masa yang paling sensitif dan bergejolak."
Penuturan dari Bu Ertha membuat Gabriella mengangguk-angguk, sementara Matt, si pesakitan, lebih sibuk memperhatikan sekitarnya.
Ornamen yang menghiasi ruangan praktik ini memberi kesan layaknya planetarium mini. Terdapat lampu kristal yang berlapiskan kaca oranye tergantung di langit-langit, bak matahari, yang dikelilingi planet-planet kecil disekitarnya. Bagian atas ruangan juga dicat biru gelap, bercampur ungu dan tosca, berbintik putih, melukiskan Bima Sakti.
Tampak sekali, psikolognya ini adalah seseorang astrophile, orang yang tergila-gila astronomi dan benda langit, sebab ruang kerjanya dipenuhi pernak-pernik benda langit artifisial begini. Bahkan, Matt dengar anak bungsunya sendiri dinamai Pluto.
Entah di mana mamanya itu menemukan nama Bu Ertha, lebih jauh mengakui kemampuannya. Yang jelas, Gabriella tampak benar-benar mendengar dan mempercayai validitas setiap kata-kata psikolog itu.
Mama Matt itu tampak berdiskusi intens, membahas jadwal kunjungan mereka selanjutnya, dan apa 'PR' untuk Matt di rumah. Sesi konseling itu selesai dalam 90 menit.
"Oh iya, tunggu sebentar, Matteo...," panggil Bu Ertha saat si sulung dan ibunya itu hendak meninggalkan ruangan. "Bisa bicara sebentar?" ucap wanita itu.
Matt melirik pada mamanya, yang lantas mengatakan akan menunggu di mobil, sebelum akhirnya berbalik menghadap Bu Ertha. Wanita yang sudah kerap kali ditemuinya dalam satu tahun terakhir ini selalu tampak smart dengan kacamata tipis.
"Sejauh ini, bagaimana perkembangan keadaan kamu... yang sebenarnya?" Nada itu tenang diucapkan oleh Bu Ertha, namun tak ayal sukses membuat Matt mengerutkan keningnya.
"Maksud Ibu bagaimana?" bingung Matt.
"Saya bisa lihat kamu semakin apatis di sesi-sesi kita belakangan ini." Pandangan mata Ertha tegas menembus bola mata Matt yang sedikit membelalak. "Apa kamu sudah mulai kehilangan minat?"
Matt hanya bisa tersenyum tipis mendapati tajamnya intuisi (atau kemampuan mengamati?) dari psikolognya ini. "Kalau mau ngomong terus terang sih... iya, Bu."
Bu Ertha mengangguk puas, seakan menghargai kejujuran Matt.
"Kamu tahu, cara bertahan dengan menjadi batu memang efektif, tapi tidak dalam jangka panjang. Lambat laun kamu harus belajar untuk menjadi vulnerable, Matteo. Percaya pada orang lain."
"Oh." Matt menjawab acuh.
Alih-alih tersinggung, Bu Ertha malah tersenyum. "Mungkin saya bukan orang yang tepat untuk jadi pembuka kunci kamu, tapi saya yakin, suatu hari pasti kamu akan ketemu sama juru kunci yang tepat."
Matt menaikkan satu alisnya. "Maksud Bu Ertha... ini kita nggak usah lanjut konsul lagi?"
Kali ini wanita itu tertawa pelan. "Saya hanya mau bilang, kalau kamu terlalu defensif itu bisa berakibat menahan progres sendiri. Tapi kembali lagi, kamu mau lanjut konsultasi atau tidak, keputusan itu ada di kamu dan mamamu sebagai klien. Saya hanya pihak penyedia jasa, tidak akan menolak rezeki."
KAMU SEDANG MEMBACA
La Tubéreuse
ParanormalRan hanya menginginkan dua hal dalam hidupnya; bisa melihat hantu, dan tahu rasanya punya kakak. Tumbuh dalam didikan trah Kuncoro, famili Jawa klenik yang bisa melihat makhluk gaib, Ran merasa kesepian karena dia satu-satunya manusia 𝘯𝘰𝘳𝘮𝘢𝘭...