13

1.3K 207 8
                                    


Di grojogan.

Anak-anak di grojogan mulai surut. Tapi tidak dengan akal pengembala itu. Lihatlah, Lintang kini tengah berdiri tegap di bawah pohon mangga. Kepalanya mendongak mengawasi mangga-mangga yang menjuntai-entah mengkal entah ranum. Ukurannya cukup besar, ditambah dengan warnanya yang hijau molek terlihat amat menggoda.

"DYAH AJENG ASHMITA, ENGKAU MAU?!" serunya meningkahi suara debuman air dan dengungan anak-anak yang tengah bermain di grojogan.

Aku tersenyum tipis, menggeleng. Wajah memanas, dipandangi anak-anak.
Bukan Lintang jika dia menuruti penolakanku, dia justru membuat ancang-ancang untuk memanjat pohon itu.

Andai ibunya tahu dia akan dijewer. Bukan karena memanjat, tapi mengambil mangga pamannya tanpa izin. Selain itu tak tanggung-tanggung pamannya yang pelit itu akan menumpahkan amukannya pada Lintang.

Tapi apa Lintang jera? Tidak. Buktinya ia terus melakukan itu.

Aku mengalihkan pandangan pada grojogan. Beberapa anak yang tersisa nampak tengah menangkap ikan dengan tombak-melupakan kejadian tadi.

Tak membutuhkan waktu lama, tombak runcing yang dilempar ke dalam air di diangkat dan jika kau beruntung ada ikan di sudut teruncingnya. Jika tidak maka hanya menghasilkan kecipak dengan tombak yang mengenai air kosong.

Kemarin aku sempat mempraktekkan itu, bersama Lintang tentu saja. Memang siapa lagi, hanya dia satu-satunya temanku di grojogan ini.

Ah, satu-satunya teman membuatku teringat pada kejadian yang tak akan pernah aku lupakan dan rasanya mustahil dilupa. Sebuah kejadian yang beruntut maha panjang.

Pergolakan.

Siapa sangka kata itu menjadi awal dari banyak hal. Cinta, iba, dan perpisahan, hingga membuatku berada di grojogan ini, selalu melihat tingkah konyol Lintang yang kini sudah berada di atas pohon, mencoba mengayuh mangga.

***

Aku meletakkan obor yang telah padam itu pada dinding. Berlari tergopoh-gopoh menuju tempat Mada. Kali ini satu-satunya orang yang bisa membantuku hanya Mada.

Aku berlari bak orang kesetanan, melintasi apapun yang dihadapanku, menerobos tatanan bunga. Menyingkirkan apapun yang menghalangiku, menyingkap gerombolan prajurit yang tengah berghibah ria.

"Hei, Ashmita! Hati-hati!" satu dua prajurit yang aku lewati berseru. Jarakku sudah sangat jauh dari ruangan yang dipenuhi enam manusia kejam.

"Maaf!" aku juga berseru, tapi tak menghentikan lariku. Aku terus berlari. Keringat mulai membuatku basah. Beberapa saat kemudian aku sampai di depan rumah Mada. Napasku tersenggal.

"Mada, buka pintunya! Cepat, Mada! Mada ...." Aku mengendor pintu rumah Mada seperti debt collector menagih hutang yang sudah jatuh tempo.

Pintu terbuka, nampak Mada dengan wajah kusut akibat tidurnya yang diganggu. Aku tak peduli. Tanpa menunggu Mada membuka mulutnya, aku segera merengsek masuk ke dalam rumahnya.

"Cepat tutup pintunya, Mada!"

Tanpa bertanya, Mada menutup pintu.
Aku menghela napas, bersandar di dinding. Terduduk. Lunglai. Peluh mengucur dari segala penjuru, napasku memburu, dan kakiku tak serupa kaki. Mada yang nyawanya mulai jangkep menatapku heran.

Aku mencoba memperbaiki napasku yang kacau.

Perihal kematian, Tuhan telah menggariskan itu bahkan sebelum aku lahir. Tak peduli dibunuh oleh Rakryan Kuti, patih itu, atau bahkan Jayanegara sendiri atau juga hanya karena meneguk air putih. Semua telah digariskan oleh Tuhan.

Bukan Anjangsana (MAJAPAHIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang