27

989 157 0
                                    

Di bawah pohon waru, di depan pabrik gerabah Nyi Laksmi, aku menerawang jalanan setapak yang sunyi itu.

Diakui ataukah tidak, aku menemukan dua keganjilan di malam itu, sebuah keganjilan yang barangkali memiliki sangkutan tentang perubahan Mada. Sebab saat aku terbangun saat itu, aku tak bertemu Mada hingga beberapa hari. Setelah bertemu pun, Mada selalu menghindariku. Ia tak pernah mau berdekatan denganku. Ia tak lagi tidur di rumah Nyi Laksmi, atau di rumah Kepala Desa. Setiap aku menyusulnya ke gardu desa, dia akan langsung pergi dengan kudanya.

Awalnya aku mengira dia sibuk, tapi akhir-akhir ini aku merasa dia marah padaku. Dia tidak ingin lagi memiliki hubungan apapun denganku, meskipun itu hanya sebatas manusia terhadap manusia lain.

Sedangkan Jayanegara, kian hari keadaannya semakin membaik. Bersama Jayanegara dengan waktu yang tidak singkat, membuatku sadar bahwa Jayanegara bukanlah manusia yang sejarah tulis, 'Kalagemet'.

Dia baik. Dia terpaksa melakukan hal-hal tak berperasaan hanya karena posisinya sebagai raja yang tak boleh melibatkan perasaan dalam mengambil keputusan. Semua tentang akal.

Sedangkan Jayanegara, sering melakukan sesuatu dengan hatinya. Inilah yang membuat mataku terbuka, bahwa sudut pandang kesamaan diantara kami adalah, kami sering menuruti kata hati yang kita kira benar, walaupun sebenarnya orang lain memiliki pandangan negatif dan tak melihat apa yang kita lihat. Sedangkan kita tak melihat apa yang mereka maksud.

Jayanegara selalu merasa sendirian walaupun banyak yang mendampinginya. Sepertiku yang merasa sendirian walaupun banyak yang berada di sisiku—orang-orang yang menyayangiku. Sejauh ini, itulah yang mampu aku lihat dari Jayanegara. Aku belum bisa melihat benang merah mengapa aku bisa sampai di sini.

Angin berdesir lembut, mengerakkan rambutku. Sekuntum bunga waru berwarna oranye jatuh di pangkuanku. Aku mengambilnya. Tak ada aroma. Ah, sudah entah berapa purnama aku terjebak di sini.

Keadaan Jayanegara sudah membaik. Hanya tinggal menghitung waktu Jayanegara dan Mada melancarkan aksinya. Tapi mengapa aku tak kunjung menemukan benang merah itu?

"Kau masih di sini?" Rashmi duduk di sisiku. "Kau sudah tahu hasil rapat akbar itu?"

Aku menggeleng. Aku sedang di bingungkan dengan benang merah itu, dan sikap Mada. Bagaimanapun juga aku harus mengetahui alasannya sebelum aku kembali ke 2021. Jika tidak begitu, maka aku tak akan pernah bisa bernapas dengan tenang.

"Nanti malam Mada akan ke Kotaraja dan menemui para punggawa di ibu kota."
Hening. Aku lebih memilih mengamati bunga waru ketimbang mengetahui rapat itu.

"Setelah itu kemungkinan besar perang akan terjadi. Mada akan menjadi panglima dalam perang itu."

Aku mulai berpikir.

"Aku tak bermaksud menarik sesuatu yang buruk dengan pikiran negatifku. Tapi jangan biarkan sesuatu yang tak diinginkan terjadi pada Mada, dan membuatmu menyesal kemudian hari."

Aku tertegun.

Aku tahu arah pembicaraan Rashmi. Kerenggangan hubungan kami telah dirasakan semua orang. Namun yang mempermasalahkan itu hanyalah Nyi Laksmi dan Rashmi, karena hanya merekalah yang mengetahui kami 'saudara'.

Kadang ketika aku sangat kesal dengan sikap Mada, aku mengadukannya pada Nyi Laksmi, dan dia memberiku kata-kata untuk membuatku kembali berpikir positif—tidak membenci Mada.
Berkali-kali aku meminta alasan dari Mada, tapi pemuda itu selalu menghindar dan selalu demikian.

Di jalan setapak, muncul arak-arakan, sederhana. Sebatas woro-woro jika nanti malam akan diadakan pertunjukan drama di lapangan desa. Aku mendapatkan ide. Tapi segera aku tepis. Mengajak Mada melihat drama dengan kondisi hubungan kami yang seperti ini adalah ide yang buruk. Dia akan langsung pergi bahkan sebelum aku menuntaskan kalimatku.

Bukan Anjangsana (MAJAPAHIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang