Aku tak kuat lagi mendengar opini teman Mada.Aku memutuskan segera menyerahkan gelas dan pergi dari sana. Mada dan temannya nampak terkejut, tapi aku mencoba sekeras mungkin untuk menunjukkan senyum.
Aku tahu itu senyum yang buruk dan aku sadar jika senyum itu tak berguna. Tak apa. Setidaknya aku mencoba baik-baik saja.
Malam mulai matang, aku memutuskan pergi ke grojogan, setidaknya aku tak akan mendengar itu hingga beberapa waktu.
Aku meraih obor yang tertancap di dinding. Mulai melengang pergi dari kedaton. Beberapa orang bertanya padaku tapi aku tak mengindahkan hingga akhirnya aku harus membentak kedua penjaga di gapura kedaton.
"Bukan urusan kalian! Kalaupun aku mau terjun dari jurang atau menenggelamkan diri di dasar samudera bukan urusan kalian! Urus, urusan kalian masing-masing! Jangan sibuk mengurusi hidup orang!"
Mereka yang sebelumnya hanya mengetahui kelembutanku kini bergidik ngeri melihatku ngamuk. Abai pada raut wajah mereka, aku bergegas pergi dari sana dengan emosi meletup-letup.
Beberapa menit kemudian aku telah berada di pemukiman penduduk.
Dari cahaya obor yang aku bawa, terlihat jika desa ini nampak lengang dan sunyi.Api oborku menari-nari saat aku telah memasuki kawasan persawahan dan perkebunan. Walaupun anginnya kencang, malam ini juga ada beberapa kunang-kunang yang berterbangan. Indah sekali. Sebelumnya aku tak pernah melihat kunang-kunang secara langsung, hanya di televisi, film—jelas itu editan, kunang-kunang sudah nyaris tak bisa ditemukan, atau gambar-gambar saja.
Lamat-lamat suara grojogan itu terdengar lebih kuat. Aku bergegas secepat mungkin mencapai tempat itu. Beberapa saat kemudian panorama indah dari grojogan yang disiram sinar bulan berpadu dengan kunang-kunang yang berterbangan memukau mataku.
Untuk sesaat aku memutuskan melihat panorama alam ini. Sungguh, aku tak akan pernah menjumpai ini di duniaku jika aku sudah kembali, lagi pula ini penawar yang mujarab atas kejadian tadi di kedaton.
Teman Mada tak salah jika aku meracuni Mada, tapi aku tak ingin membunuhnya. Sama sekali tidak. Aku memang buruk tapi aku tak sejahat itu.
Melihat air yang jatuh berdebum, lalu mengalir dengan deras. Suara riaknya, serta pesona bulan dan kunang-kunang, membuat dadaku kembali teriris. Aku menyesalinya. Sungguh.
Air mataku kembali jatuh. Aku menghapusnya. Aku harus segera memastikan portal itu, sebab aku telah membayarnya dengan begitu mahal.
Aku beranjak dari kolaborasi alam yang indah itu, bergegas menuju pohon kembar. Jarak diantara keduanya tak menampilkan potret Kak Aarav seperti dulu. Tapi bisa saja ini bisa menembus seperti air.
Aku terus melangkah mengikis jarak dengan cepat, kini aku berdiri tepat di depan dinding tak kasat mata. Aku mengigat semua kejadian dan kebaikan yang aku terima di era ini.
Nyi Laksmi, Dharmo—pemuda itu, demi tanggung jawab rela menaruhkan nyawanya—lantas kekejamanku pada Mada. Oh Ibu, andai saja aku bisa mengulang waktu aku tak akan pernah melakukan hal keji seperti itu. Jika harus, seharusnya aku mengunci Mada saja di dalam bangunan—walapun itu hanya menahan Mada beberapa detik. Setidaknya itu lebih baik daripada bermain dengan racun.
Tiba-tiba pelupuk mataku kembali basah. Napasku sedikit tersenggal. Tapi dengan segera aku fokus pada dinding tak nampak itu. Perlahan aku meluruskan tanganku. Terhenti. Aku kembali mengulang gerakan tangan. Berhenti lagi.
Dinding itu ada, seperti di mimpi, aku juga tak bisa menembusnya. Mataku berbinar. Ini bukan ilusi atau apapun. Ini nyata. Ada dinding di depanku, portal itu ada dan benar-benar ada. Aku menemukan jalan pulang. Semoga.
"Hai. Bagaimana kabarmu, Mit?"
Aku terkesiap. Aku segera menoleh pada suara yang menyapaku. Pemuda Berjas, lengkap dengan senyum menjengkelkan itu kembali muncul.
Dia tertawa. "Sepertinya kamu belum mendapatkan sandi itu."
Aku melenguh, kecewa. "Aku bahkan kembali membuat masalah. Mada nyaris kehilangan nyawanya karenaku." Aku menunduk dalam-dalam.
"Memang. Kau pengatur siasat yang buruk. Sangat-sangat buruk." Pemuda itu manggut-manggut. Aku melotot ke arahnya, bukannya membesarkan hatiku ia malah memperparahnya.
"Tapi terlepas dari buruknya siasatmu itu, kau sedikit cerdik, Mit. Aku sengaja tidak memberitahumu kapan portal ini bisa diakses. Dan setelah melihat kegagalan itu, kamu berpikir cepat. Malam hari adalah jawabannya. Kau sudah lebih cerdas. Kemajuan pesat. Tidak bebal lagi."
Aku mendengus dingin. Ia kira itu informasi penting bagiku? Tidak! Sama sekali tidak! Aku hanya ingin sebuah reward yang setimpal atas semua kejadian ini.
"Tentu kau bertanya-tanya, kenapa kau belum bisa menembusnya. Bukankah semua telah baik-baik saja, kamu sudah datang setelah matahari tenggelam, kamu juga telah mendapatkan alasan itu?"
"Apa ini sebab rencana jahatku pada Mada?"
Pemuda Berjas tersenyum prihatin. "Termasuk Ashmita. Ternyata seluruh kisahmu di sini tak sesederhana itu. Masih ada yang tersisa. Satu dua persoalan. Sekali itu rampung, portal terbuka."
"Apakah berhubungan dengan Jayanegara?"
"Semuanya selalu berhubungan dengan dia. Bukankah di sini ia tokoh utama laki-lakinya?"
"Maksudku perasaannya."
Pemuda itu mengangkat bahu. "Bisa jadi iya, kemungkinan tidak. Entahlah. Semua masih misteri dan kamu yang harus memecahnya jika kamu ingin kembali. Jika tidak ...." Pemuda Berjas menatapku, menyeringai, "kau pasti tahu apa yang akan terjadi."Aku meliriknya penuh selidik. "Apakah ini alibi atas kekesalanmu karena aku menggunjingmu kemarin?"
Tawanya pecah, merobek kekhidmatan grojogan. "Jujur sebenarnya, opinimu itu lucu sekali. Aku tak marah. Lain kali kita sambung itu." Pemuda Berjas mulai melangkahkan kakinya, menjauh.
"Kau mau kemana?"
Ia menghentikan langkahnya, menatapku dengan senyum menjengkelkannya itu, "Kau ingin bersamaku, Ashmita?"
Aku berdecak kesal, tapi tawa Pemuda Berjas kian lengking, memekakkan telinga, menyulut emosi.
"Selamat tinggal, Ashmita."
Urung aku membuka suara, kabut tebal datang lebih dulu, dari berbagai arah. Melebur jadi satu di atas Pemuda Berjas. Pelan-pelan kabut itu menggulung-gulung, seperti angin topan, turun dan membalut seluruh tubuh Pemuda Berjas. Setengah detik kemudian, kabut menghilangkan bersama dengan Pemuda Berjas itu. Mereka raib, seolah tak pernah ada.
Aku terkesiap melihat kejadian ini.
"Ashmita!"
Bersambung ...
KAMU SEDANG MEMBACA
Bukan Anjangsana (MAJAPAHIT)
Ficción histórica"Baik dan buruk adalah kerelatifitasan, sedangkan benar dan salah adalah kemutlakan." Gadis melankolis tercebur ke abad 14, di mana kerajaan Majapahit masih nampak kerdil, dipimpin oleh Raja yang menyandang ejekan lemah lagi jahat. Bersamanya kita...