Di rumah Mada.
Malam ini, setelah melihat kejadian aku berdiri di atas kakiku sendiri sore tadi, Mada menatapku heran. Banyak tanya yang ia lontarkan, bahkan tabib istana sendiri heran. Tentu saja. Bagaimana bisa luka sedalam itu, masih mengalirkan darah bisa sembuh tak berbekas hanya dalam waktu beberapa menit saja.
Jawabannya sederhana, tapi untuk masuk ke otak rasanya memerlukan penelitian tingkat tinggi. Tapi untukku, adanya aku di dimensi ini sudah cukup membuatku sadar bahwa hilangnya luka ini bukan hal yang ganjil. Tidakkah masuknya aku dalam dimensi ini lebih ganjil lagi?
"Melihatmu sudah sembuh, Maharaja mulai mempersiapkan eksekusi Halayudha. Kabarnya telah di umumkan ke segala penjuru kerajaan. Siapapun boleh datang melihatnya."
Aku menghela napas kasar. Bahkan beberapa saat sebelumnya aku terlibat perang kata dengan Jayanegara untuk tidak membuat hukuman ini sebagai tontonan umum. Cara dia nanti menghabisi Halayudha dengan dicincang halus seperti babi hutan dengan hidup-hidup pasti sudah sangat menyakitkan. Itu sudah cukup untuknya.
Tapi tidak, Jayanegara terlalu keras kepala dan dirinya telah diselimuti api amarah. Ia tak akan mendengarkan siapapun. Bahkan ia mengaku mencintaiku, harusnya ia patuh padaku. Kenyataannya tidak.
Aku bangkit. Toh, tak ada gunanya aku berkoar-koar menunjukkan argumenku pada orang yang tak mau, lagipula aku sudah memutuskan sesuatu. Menemui Halayudha.
Masih malam yang sama, saat semua telah terlelap, aku memutuskan pergi ke penjara istana, menemui Halayudha. Sisa hari aku habiskan dengan memikirkan ucapan Pemuda Berjas—selain adu argumen dengan Jayanegara—Aku sering keras kepala, tetapi keras kepalaku selalu menghasilkan masalah, masalah, dan hanya masalah. Dengan menurunkan ego, mungkin aku bisa terbebas dari beberapa masalah dan segera pulang. Semoga.
Aku berjalan membelah jalan setapak keraton yang lengang. Bangunan penjara sudah berdiri di depanku, tetapi prajurit yang menjaga di depan menyilangkan tombak, menghadang tanpa basa-basi.
"Aku ingin masuk," kataku dingin.
"Tentu kau tahu, dengan adanya Halayudha di dalam, penjagaan diperketat."
"Aku ingin masuk."
"Kami tidak bisa membiarkanmu masuk."
"Kalian yakin?"
Mereka menjawab mantap, melarang.
"Apakah perlu aku panggil Maharaja kemari untuk melepas jabatan kalian?"
Kedua prajurit itu saling pandang.
"Aku kemari setelah mendapat izin dari Maharaja. Mudah saja bagiku kembali dan mengadukan sikap kalian ini." Ya, aku berdusta. Jika Jayanegara dan Mada bisa bermain licik, kenapa aku tidak? Mereka kira aku begitu naif hingga tak bisa melakukan hal serupa? Mereka salah!
"Maafkan kami, tapi kami tidak bisa mengizinkanmu masuk. Tak ada satupun yang boleh masuk, kecuali Maharaja itupun mendapatkan pengecualian. Semua akses penjara ditutup, dan hanya Ratu Gayatri yang memiliki kendali penuh.".
Aku berdecak pelan.
Mengunakan nama Jayanegara memang sama-sekali tak membantu, justru menambah dosa. Bukannya rencana berhasil, malah berhasil menambah tabungan dosa.
Tanpa menunggu di usir, aku meninggalkan tempat itu terlebih dulu. Melangkah gontai dengan pikiran yang entah bagaimana.
Sayup-sayup aku mendengar suara.
"Sstt! Gadis Kecil!"
Segera aku mencari asal suara. Tetapi tak ada satupun penampakan manusia. Hanya dinding penjara dan beberapa pohon saja.
"Di atas, Ashmita!"
Aku mendongak. Di dinding bangunan penjara, terdapat angin-angin. Lebarnya dan luasnya tak lebih dari dua puluh centimeter.
"Kau mengenaliku, Ashmita?"
"Halayudha?" jawabku ragu-ragu.
Terdengar suara kekehan dari dalam. "Kau masih mengenali suaraku, Nak."
"Apa yang kau inginkan?"
"Aku ingin bicara. Padamu."
"Mengenai apa?"
"Maafkan aku, Nak. Perbuatanku padamu dan pada mereka yang tiada karena hasutanku, memang tak bisa di maafkan.
"Tetapi, Nak, yang paling aku butuhkan sebelum menerima hukum atas kesalahanku selama ini adalah meminta maaf. Salah satunya padamu. Maafkan aku, Ashmita."
Eh?
"Nak, satu pesanku untukmu, belajarlah dari kisahku. Jangan menjadi orang sepertiku. Jangan pernah membalas api dengan api, Nak. Jangan pernah."
Dinding penjara nampak lengang. Paman Halayudha tak lagi bicara."Paman, masih di sana?"
Hening. Tak ada jawaban hingga akhirnya aku memutuskan kembali. Sepanjang malam aku dibuat berpikir, alasan Paman Halayudha.
Api dengan api?
Jahat dengan kejahatan?
Di kepalaku mulai terputar berbagai kenangan, berlapis-lapis, bertaut-taut.
Bagaimana bisa?Aku menangis, dan seharusnya aku menangis sejak awal.
Kenapa aku begitu bebal hingga menyadarinya setelah banyak yang terjadi? Kenapa?
"Karena kau manusia biasa, Ashmita."
Suara yang telah bersahabat di telingaku, menemaniku merintih nestapa, menangisi banyak hal."Kau ingin pulang, bukan? Maka waktu yang telah engkau tunggu telah tiba."
Aku menatap nanar Pemuda Berjas. "Pantaskah aku untuk pulang, kembali ke dunia itu? Pantaskah?" tangisku kembali menjadi.
"Itu rumahmu, Ashmita. Tempatmu pulang di dunia ini. Tempat itu milikmu. Pantas tidaknya kau untuk pulang, kini ada di tanganmu sendiri. Jika kau ingin pulang, silahkan pulang. Jika tidak ..." Pemuda Berjas menggantungkan kata-katanya. "Aku berharap, kau tidak ingin mengetahui kemungkinan yang terakhir." Pemuda Berjas menghela napas panjang.
"Selamat Ashmita, akhirnya kau menemukan apa yang seharusnya kau temukan. Selamat."
Kabut-kabut mulai berdatangan, menyelimuti Pemuda Berjas dan membawanya pergi, seperti sebelumnya. Tetapi aku tak lagi tertarik dengan itu. Jawaban ini ternyata sesederhana ini dan semengejutkan ini. Sebenarnya bukan mengejutkan, akulah yang bebal.
Bersambung ...
KAMU SEDANG MEMBACA
Bukan Anjangsana (MAJAPAHIT)
Historical Fiction"Baik dan buruk adalah kerelatifitasan, sedangkan benar dan salah adalah kemutlakan." Gadis melankolis tercebur ke abad 14, di mana kerajaan Majapahit masih nampak kerdil, dipimpin oleh Raja yang menyandang ejekan lemah lagi jahat. Bersamanya kita...