Bum!
Suara ragaku yang berdebum menghantam sungai, membuatku berpikir nyawaku telah terlepas dari raganya.
Tetapi, perih di kepala membuatku merasa, aku belum tiada. Perlahan aku membuka mata. Tak percaya dengan apa yang ada dihadapanku, aku segera merebahkan diri.
Mahasuci Sang Pencipta! Hamparan langit lazuardi dengan gumpalan awan putihnya, gemericik air terjun, dan rasa sakit di kepala ini, membuatku menyadari sesuatu, bahwa Sang Pemilik masih memberiku kesempatan untuk lebih lama di dunia ini. Aku masih hidup. Sebab katanya jika manusia sudah tiada, maka tiada pula sakit yang dideritanya.
Buru-buru aku mendudukkan diri. Urung itu terjadi, sebuah tangan terulur untukku. Tangan kekar dengan pakaian seperti aktor bangsawan di film kolosal, tanpa meninggalkan rambut panjangnya, membuatku menautkan alis.
Melihatku yang tergugu, orang itu segera meraih tanganku, membantuku bangkit.
"Mada, carikan aku daun obat. Cepat!" Datar dan tegas. Pembawaannya dengan alis yang begitu tebal hingga hampir terhubung memang menambah kesan tegas itu.
Tanpa menunggu disuruh dua kali, seseorang yang mungkin bernama Mada segera beranjak. Masuk ke dalam hutan belantara di hadapan sana.
Aku berdesis perih saat pemuda itu menyeka pelipisku yang berdarah dengan kainnya.
"Apa begitu sakit?" Ia bahkan ikut mengernyitkan dahi. Tangannya mengambil air yang hanya beberapa centimeter dari tempat kami duduk.
"Tahanlah." Ia menguyur pelipisku. Mencoba membersihkan darahnya. Tapi tetap saja terasa perih.
Aku mendesis dengan mencengkeram erat lengannya. Begitu erat hingga akhirnya akan tersadar tak ada jembatan di atas sana, atau dimana pun itu, tempat awal aku jatuh.
Aku jatuh dengan posisi miring jadi seharusnya disekitar sini ada jembatan itu. Tapi mengapa hanya pohon-pohon besar dengan tanah datar?
"Kalian, buanglah batu itu agar tak ada lagi yang jatuh!" titah pemuda yang kini menggerus daun yang diambilkan oleh Mada.
Salah satu dari mereka mengambil batu yang berada di tengah-tengah pohon kembar dan meletakkannya di bibir sungai bersama batu lain.
"Gara-gara batu itu kau jatuh terjerembab hingga kepalamu terluka," papar pemuda berwajah tegas.
Bukan! Bukan batu itu.
Aku pernah membaca jika, ada dua pohon kembar maka sebuah energi akan terkumpul dan menggumpal menjadi saru di tengah kedua pohon kembar itu, menjadi sebuah portal untuk ke dimensi lain.
Buru-buru aku bangkit dari dudukku. Mendekati dua pohon kembar, membuat seluruh jiwa di tempat itu menatapku heran.
Abai pada reaksi mereka, aku memberanikan diri untuk berdiri di tengah kedua pohon kembar. Aku terdiam beberapa saat, menanti sesuatu terjadi. Detik beranjak ke menit, sinar matahari terasa kian tajam dan tak ada apapun yang terjadi.
Jika portal memanglah ada, kenapa tak ada yang terjadi padaku?
Kalaupun aku tidak memasuki sebuah gerbang antar dimensi, kemana hilangnya jembatan, sungai hijau yang dalam itu?
"Nyisanak, kau tak a .... Awas!" Seseorang menarik tanganku. Sebuah anak panah melesat begitu saja. Andai seseorang itu tak menarikku aku akan sungguh-sungguh tiada.
"Kau tak apa?" tanyanya dengan intonasi begitu lembut, namun ada kekhawatiran yang melingkupinya.
"Ah." Aku segera mundur beberapa langkah kebelakang. Jarak antara aku dan Mada terlampau dekat. "Iya, tak apa." Aku mencoba mengatur denyut jantungku. Beginikah semesta menyambutku? Hujaman anak panah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bukan Anjangsana (MAJAPAHIT)
Fiksi Sejarah"Baik dan buruk adalah kerelatifitasan, sedangkan benar dan salah adalah kemutlakan." Gadis melankolis tercebur ke abad 14, di mana kerajaan Majapahit masih nampak kerdil, dipimpin oleh Raja yang menyandang ejekan lemah lagi jahat. Bersamanya kita...