38

853 136 6
                                    

Bendi terus melesat di bawah teriknya matahari, membelah jalan setapak. Amarahku sedikit mereda, tetapi aku tidak bisa kembali ke istana, aku belum mau menghadapi pertanyaan-pertanyaan menjengkelkan perihal perjalanan ini. Tapi mau kemana?

Aku melihat keluar bendi, hamparan ladang membentang di kanan kiri kami, membuatku mendapat ide. Mungkin berdiam diri di sana menikmati grojogan akan membuat hariku ini sedikit membaik.

Bendi terus melesat, suara derap kuda terdengar kencang, pernak-pernik di bendi yang ikut bergerak berdenting menghasilkan suara. Akhirnya setelah beberapa menit di atas bendi tempat yang aku maksud mulai terlihat.

"Pak, saya turun di sini saja."

Kusir itu mengangguk, mengentikan bendinya. Aku turun dan membayar beberapa nominal yang disebutkan oleh kusir.

"Pak, jika nanti ada yang bertanya tentang saya dan kemana saya pergi tolong jangan katakan yang sebenarnya, ya. Dia sedikit tidak waras, Pak. Dia ingin menjadikanku kelinci percobaannya. Dia Tabib yang terobsesi membangkitkan orang yang telah mati."

Wajah kusir itu memucat.

"Jika Anda jujur Anda juga akan ditangkap, menjadi kelinci percobaan selanjutnya. Lebih baik Anda segera pergi ketika melihat dia."

Kusir itu menelan ludah. Mengangguk dengan tangan gemetar. "Terima kasih, atas informasinya, Nyisanak." Sejurus kemudian bendi itu mulai menjauh dari tempatku berdiri.

Dari reaksinya aku yakin, kusir itu tak akan kembali ke tempat pangkal yang tadi.

Aku melangkahkan kaki, mulai pergi ke grojogan. Tetapi sebuah gubuk bambu di tengah ladang, tepat dibawah pohon belimbing wuluh membuatku teringat pada Dharmo.

Aku mendekat.

Rasa bersalah ini mustahil pergi, tapi dengan menerimanya, mendengarkan nasihat Mada dan Nyi Laksmi barangkali mampu membuat bebanku sedikit berkurang.

Aku kembali melangkah, menuju grojogan. Tidak membutuhkan waktu lama untuk aku sampai di tempat itu.
Beberapa petani menyapaku ramah, aku mengangguk takzim. Terus melangkah.

Aku telah sampai, grojogan menyambutku dengan ramah. Aku mulai merendam kakiku dengan duduk menjuntai di bibir sungai. Air dinginnya yang segar menguapkan pegal dan kotor di kakiku setelah sepanjang pagi mengelilingi pasar.

"Eh, Mbak Yu?" sapaan riang nan melengking itu membuatku menoleh. Pengembala itu, memang siapa lagi?

"Apa kabar, Mbak Yu? Sudah lama tidak ke mari?" Pengembala mengambil tempat duduk di sisiku.
"Belum ada separuh purnama," timpalku ramah.

"Mbak Yu suka gulai?"

Aku menatapnya. "Kau sungguh-sungguh menjadikan kambingmu gulai?"

"Tentu saja. Aku sudah berjanji, aku harus menepatinya. Lagipula aku lega, tidak ada lagi yang membuatku repot mencarinya dan mengejarnya hingga keliling desa." Ia tertawa, aku juga.

"Kenapa tidak kamu jual saja?"

Pengembala menggeleng. "Lebih baik aku gulai dan dibagikan ke tetangga. Itung-itung sebagai penebusan dosa kambingku yang selalu merusak tanaman mereka." Ia tertawa lagi. "Mbak Yu mau? Masih ada di rumah, sengaja aku sisakan untuk Mbak Yu. Belum basi, kambingnya baru dipotong tadi pagi.

"Sisakan untukku? Kenapa?"

"Tidak tahu, aku merasa Mbak Yu akan kemari, jadi aku ingin memberikannya pada Mbak Yu. Itung-itung ucapan maaf Wedus yang hampir menabrak Mbak Yu."

Kini aku tertawa, disusul olehnya. "Boleh. Tapi kalau kuah dan nasinya bisa dipisah?"

Jika kalian mengenal pribahasa, 'Diwei ati ngerogoh rempelo,' itulah aku. Bukannya berterima kasih telah diberi, malah meminta lebih.

"Tentu saja." Pengembala yang sudah berdiri itu menjawab mantap. Ia segera beranjak dan kau kembali sendiri menikmati grojogan ini.

Terasa hening dan sunyi. Begitu menentramkan. Tanpa sadar ingatanku kembali ke 2021. Saat aku pergi kegiatan KBM tatap muka mulai terjadi, vaksin mulai diadakan di beberapa tempat bahkan termasuk di sekolah-sekolah. Aku juga sudah mendapatkan vaksin. Aku di sini sudah entah berapa lama, apakah pandemi virus telah selesai?

Apa kabar Kak Eka? Ah, setiap kali hanya itu yang aku tanyakan. Tapi aku benar-benar merindukannya.

Kak Aarav, apakah pemuda itu telah di vaksin? Seingatku, walaupun dia bisa bertinju, dia takut dengan suntikan. Ia berkata padaku bahwa ia tidak takut disuntik, ia hanya takut dengan jarumnya. Walaupun maknanya sama dengan takut disuntik ia tetap menolak mentah-mentah kesimpulan itu dengan argumennya—yang dia sendiri yang meyakininya.

Aku merindukan itu semua. Kapankah aku bisa pulang? Lihatlah, walaupun aku sudah di grojogan ini, tetap saja aku belum bisa memastikan portal itu karena saat ini hari masih cerah. Bahkan aku sempat ragu, apakah benar mimpiku itu sebuah petunjuk atau justru khayalanku saja.

Pikirkan saja, orang waras mana yang mengenakan pakaian jas rapi dengan sepatu pantofel mengkilap di tengah hutan, belum lagi kacamata hitamnya yang ia kenakan. Jika siang mungkin masuk akal, lha dia, malam-malam gelap mengenakan kacamata hitam.

"Sedang memikirkan apa, Mbak Yu?" Pengembala itu sudah kembali dengan semangkuk gulai dan sepiring nasi. Aromanya memang mengoda, tapi porsinya seperti makanku sehari.

"Ini banyak sekali." Aku menatap jeri bawaan Pengembala.

"Mbak bisa membawanya pulang. Mbok yang menyarankannya."

Aku manggut-manggut. Menerima pemberian Pengembala. "Terima kasih banyak."

"Akan lebih baik Mbak pulang dulu, biar dimakan. Mumpung masih panas. Kalau dingin tak akan nikmat lagi."

Aku tersenyum, menuruti perintah Pengembala. Tak ada salahnya. Mada pasti akan senang mendapatkan makan siang selezat ini, lagipula ini akan memasuki makan siang.

Aku bergegas pulang. Tetapi rumpun bunga terompet ungu membuatku hati-hati, walaupun tingginya hanya beberapa senti, tanaman itu beracun, nyaris seluruh bagiannya juga beracun.

Kandungan aktifnya atropine, hyoscyamine, dan scopolamine, adalah zat penghilang kesadaran. Jika dikonsumsi lebih bisa overdosis dan katakan selamat tinggal pada dunia.

Tetapi jika dikonsumsi sedikit saja mungkin tidak akan menghilangkan nyawa seseorang, pikiran liar mulai tumbuh di otakku, dengan segala rencana yang masih perlu di pikirkan ulang, aku memutuskan mengambilkan beberapa kuntum bunga ungu itu, membungkusnya dengan daun pisang, membawanya bersamaku kembali ke kedaton.

Bersambung...

Bukan Anjangsana (MAJAPAHIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang