14

1.2K 213 5
                                    

Sepenggal adegan di 2021

Lantai dua perpustakaan daerah.

"Balada Badander?" Aku membaca sebuah judul naskah yang telah diprint. "Apa ini, Kak? Oh, ini kisah ikan, ya? Sejenis ikan bandeng atau wader gitu, ya? Terus di ..."

"Dipepes dan dimakan pake nasi anget," sahut Kak Aarav dengan mengacak-acak rambutku"

"Enggak ..."

"Terus apa? Perkawinan bandeng dan wader?" Kak Aarav tertawa kecil.

"Ihhh enggak! Ini kayak lagenda-lagenda ikan mas, kan?" Aku masih ingin menebak.

"Sok tau!" tandas Kak Aarav dengan mata menatap laptop.

"Lalu apa?"

"Baca aja." Kini wajah Kak Aarav semakin serius melihat layar laptop.

Aku menatap karya itu tak berselera. "Ini esai?"

Kak Aarav mengangguk tanpa menatapku. Ia tengah serius.

"Challenge selanjutnya ya, Kak? Duh, kenapa harus sejarah, sih?"

"Masa mau teenlit lagi? Semakin banyak genre yang kalian coba, akan semakin nampak ciri khas dan passion kalian."

Aku nyengir, meletakkan naskah itu kembali ke meja. Aku sedang belum ingin membaca bacaan berat, dan Kak Aarav tak pernah mengangkat tema yang ringan.

Kalaupun temannya ringan, cara dia mengeksekusi terlalu berbobot. Bukan aku tak menyukai hal yang berbobot, tapi saat ini kepalaku sedang pusing karena matematika dan ingin membaca yang ringan-ringan. Bukan karya tulis menakjubkan dari pembimbing jurnalistik.

Suara ketikan terus terdengar, bahkan nyaris tanpa jeda. Diam-diam aku menatap Kak Aarav. Pemuda itu jika sedang serius terlihat kian menawan. Rambutnya yang walaupun tak pernah ditata serapi orang kantoran, ia tetap terlihat tampan. Mata hitamnya begitu indah. Bulu matanya lentik. Hidungnya terpahat begitu indah. Dan ... setiap bibirnya menyunggingkan senyum, aku juga ikut tersenyum. Kehangatan senyumannya turut mengalirkan kehangatan pada diriku, terkhusus hatiku—eh?

***

Majapahit 1318

Di atas kuda, di bawah remangnya malam.

Aku menepuk dahiku, menyadari kenangan itu. Bukan karena pemikiran 'lainku', tapi karena aku tak membacanya waktu itu. Andai aku membacanya, setidaknya aku bisa tahu apa yang akan terjadi atau tengah terjadi saat ini dan hal mendatang. Ada sesuatu yang bisa aku lakukan, sesuatu yang jitu. Tepat. Bukan menerka-nerka seperti ini hingga membahayakan Mada.

"Ada apa, Ashmita?" Mada bertanya dengan pandangan yang terus menatap jalanan remang.

Aku menggeleng.

"Kamu merindukan rumahmu?"

Aku terdiam.

"Maafkan aku yang membuatmu jatuh lebih dalam lagi pada permasalahan seperti ini. Bahkan nyawamu dalam bahaya. Maafkan Ashmita.

"Aku telah berjanji begitu banyak padamu, tapi aku bahkan tidak bisa menepati salah satu janji itu."

Aku menggeleng. Tersenyum. "Jika kita diberikan pilihan, mustahil kita memilih ini, kan?"

Mada tersenyum. Pias.

Lengang. Hanya suara derap kuda saja yang terdengar. Mada diam, dan aku sedang tak ingin membuka mulut.

Banyak hal dan pertanyaan yang berputar di kepalaku. Tentang adanya aku di sini, tentang bagaimana caranya aku kembali, tentang pergolakan ini, masalah ini, kelanjutan nasib Mada, dan juga diriku sendiri, belum lagi Jayanegara.

Bukan Anjangsana (MAJAPAHIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang