24

1.1K 170 1
                                    

"Ashmita, bangun, Nduk!" Suara Nyi Laksmi berhasil membuatku membuka mata. Napasku memburu. Keringat dingin bercucuran dari dahiku.

"Ini, Nduk." Nyi Laksmi memberiku segelas air. Aku segera meneguknya hingga tandas. Dadaku masih berdentum keras.

"Apa kamu bermimpi buruk?"

Mimpi? Aku mengamati diriku. Aku tak basah. Aku masih mengenakan pakaian tadi. Aku masih di kamarku dengan keadaan sebelum aku terlelap tanpa sadar. Semua masih sama.

Aku menghela napas seraya menyeka peluh di dahi. Itu hanya mimpi.

"Sekarang mandilah. Sudah fajar. Tidak baik tidur saat fajar."

Aku mengangguk. Nyi Laksmi pergi dari kamarku. Aku belum beranjak dari tempat tidur. Menatap nanar dinding kayu yang polos itu. Menerawang ulang kejadian-kejadian di mimpi itu.

Semua serasa nyata. Bahkan yang tidak nyata nampak sangat nyata—dinding tak kasat mata. Ini sepertinya bukan sekedar mimpi.

Aku beranjak dari tempat tidur. Melangkah lunglai menuju kamar mandi. Bersamaan dengan itu, perkataan Pemuda Berjas kembali mengusik pikiranku. Mulai dari gerbang tak kasat mata itu, alasan, kunci, sandi, pulang, memperbaiki, hingga tak boleh mengubah sejarah, terus berputar-putar di kepalaku. Belum lagi kalimat, dalam setiap keputusan memiliki risiko, dan tak setiap masalah, benar adalah solusi terbaik.

Di ruang tamu, aku melihat Mada yang tengah tertidur di kursi panjang yang terbuat dari kayu. Wajahnya terlihat sangat letih. Bukan hanya fisik, tapi juga pikiran. Sudah pasti kejadian semalam kembali menambah beban pikirannya.

Aku menghela napas samar. Bagaimana lagi, aku tidak bisa memperumit masalah ini, dengan perasaan yang maha rumit, cinta. Jika aku menurutimu, Mada. Maka aku akan benar-benar terjebak di sini, sejarah akan berubah, bencana akan datang, dan entah apa lagi yang akan timbul. Belum lagi bersandiwara mencintai Jayanegara. Iya kalau dia realistis, kalau sudah dibutakan oleh perasaannya, maka bencana lebih besar akan turut menghiasi.

Mada, kau tak pernah merasakan cinta. Itulah kenapa kau tak mengerti diriku. Jika kau tahu perasaan cinta, kau pasti tak akan memaksaku hingga menyuruhku berpura-pura mencintai.

Bruak!

"Ah!" Aku mengelus kakiku pelan.

Untunglah hanya kakiku yang sakit, vas keramik di meja tak ikut terjatuh. Jika itu pecah, mungkin akan kembali mematahkan hati Nyi Laksmi. Itu bukan sekedar vas. Itu adalah vas bunga keramik khas Tiongkok, yang dibawa Dharmo beberapa tahun lalu dari saudagar Tiongkok—Dharmo sendiri yang menceritakan itu di perjalanan menuju Kotaraja.

Ah, Dharmo. Jika aku tidak segera mendapatkan alasan itu akan lebih banyak lagi yang bernasib seperti Dharmo. Dan itu tentu saja karenaku.

Aku menoleh pada tempat Mada tertidur. Ia masih pulas. Barangkali ia baru tidur. Semenjak aku memberitahunya rencana Dharmaputra pasti susah untuknya tidur, dan aku tak ingin merusak tidurnya. Aku sudah banyak mengacaukan hidup Mada semenjak aku datang.

"Ada apa, Ashmita?" tanya Rashmi yang langsung menghampiriku dengan wajah cemas. Aku tersenyum. Menggeleng pelan.

"Aku hanya menabrak meja."

Dia tersenyum. "Makanya hati-hati."

Eh, bukannya Rashmi tengah jalan-jalan?

"Kamu sudah pulang?"

Rashmi mengangguk. "Semalam."

"Dia bermalam di sini?" Aku bertanya mengenai Mada.

Rashmi mengangguk. "Bahkan dia yang membukakan pintu untukku."

Bukan Anjangsana (MAJAPAHIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang