Aku menatap nanar atap kamarku. Malam sudah begitu matang dan pekat, namun kantuk tak kunjung bertandang. Mataku masih belum bisa terpejam, pikiranku masih terus memutar kejadian siang tadi bersama Jayanegara. Bahkan setelah itu aku sempat menggerutu di hadapan Mada. Mengomelinya atas nama Jayanegara. Memaki Jayanegara tanpa ampun.
"Dasar manusia tak berhati! Mudah sekali dia bilang, dikira aku lalat apa."
"Sabar, Ashmita. Sabar. Tenangkan diri ..."
"Nggak ada tenang-tenangan. Enak aja. Aku bukan lalat! Jika dia ingin aku pergi maka aku akan pergi. Untuk apa aku di sini. Aku tak butuh bantuannya. Aku masih bisa hidup tanpa istana ini!"
"Ashmita, tenangkan dirimu. Kendalikan amarahmu. Jangan membuat keputusan saat marah."
"Jayanegara sangat menyebalkan, Mada!"
"Baiklah dengarkan aku."
"Apa?" sahutku ketus.
Mada tertawa. Wajahku semakin merah padam. "Aku sedang kesal, Mada. Kenapa kau justru tertawa? Kau mengejekku?"
"Eh, tidak. Kamu terlihat manis ketika marah."
Pipiku menghangat. Mada bilang apa tadi? Aku manis—eh.
"Baiklah abaikan itu. Begini, mungkin kata Maharaja ada benarnya. Kita tidak tahu pikiran dan rencana seseorang. Akan lebih aman jika kamu tetap di sini. Jika kamu tidak mempercayai Maharaja, itu hakmu, tapi dengan kau masih di sini kau lebih aman."
Lengang. Aku mencoba memikirkan kalimat Mada. Aman dari mana coba?
"Jika boleh aku memberi saran, tetaplah di sini. Sementara itu aku akan mencari tahu mengapa Patih Halayudha ingin membunuhmu."
Aku ber-puh pelan. "Dia masih menudingku sebagai mata-mata, Mada," nadaku mulai terkendali. "Kau tahu bagaimana rasanya hidup di lingkungan yang selalu mencurigaimu? Apalagi tatapan mereka, rasanya seperti mengulitiku hidup-hidup."
Mada menatapku iba.
"Sabarlah, Ashmita. Aku akan mencari tahu alasan mereka. Setelah itu aku akan membantumu terlepas dari tatapan-tatapan yang menyakitimu."
"Apa aku bisa mempercayaimu? Kau adalah pengikut Jayanegara, bisa saja kau ..."
"Aku bukan pengikut Maharaja Jayanegara, Ashmita. Aku adalah prajurit. Membela yang benar dan membasmi kebejatan. Negara yang isinya didominasi oleh petinggi bedebah maka akan menyengsarakan rakyat kecil yang tak tahu apapun.
"Apalagi itu kau, Ashmita. Gadis dari masa depan yang hanya mengetahui keberadaan kami secara sekilas. Kau pikir aku begitu picik Ashmita? Menjilat sana-sini, menyikut berbagai sisi demi ambisi pribadi? Jika itu yang kau pikirkan maka kau salah orang.
"Kau ingin pergi? Maka silahkan. Kau ingin menetap, maka aku akan membantumu. Membantu seseorang yang telah menaruh kepercayaannya padaku. Semua ada di tanganmu."
Aku menghela napas berat. "Baiklah. Aku akan mencoba bersabar." Aku berdiri, melangkah pergi menuju kamarku.
Sudah malam, walaupun belum larut. Aku juga sedang tidak ingin pergi ke kamar Ratu Indreswari. Aku bahkan memberikan alasan bahwa aku sedang tidak enak badan. Ingin istirahat lebih awal. Walaupun pada kenyataannya sampai tengah malam aku tak kunjung terlelap. Bagaimana bisa aku tidur saat pertanyaan demi pertanyaan menghujam pikiranku?
Dan yang paling menggangguku adalah, mengapa Patih Halayudha begitu ingin membunuhku? Kesalahan jenis apa yang pernah aku lakukan hingga ia tak bisa menerimanya?
Jika ia mencurigaiku sebagai mata-mata, rasanya waktu satu bulan cukup lama untuk dia mengerti. Aku tinggal di istana ini. Bertingkah tanpa topeng—setidaknya itu menurutku, melakukan apapun yang ingin aku lakukan tanpa pura-pura.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bukan Anjangsana (MAJAPAHIT)
Ficción histórica"Baik dan buruk adalah kerelatifitasan, sedangkan benar dan salah adalah kemutlakan." Gadis melankolis tercebur ke abad 14, di mana kerajaan Majapahit masih nampak kerdil, dipimpin oleh Raja yang menyandang ejekan lemah lagi jahat. Bersamanya kita...