Aku merapikan kamar Ratu Indreswari, sebelum pemuda pemarah tanpa hati itu kembali beraksi. Saat belum sarapan saja dia seperti itu, entah akan seperti apa jika amunisinya telah penuh.
Setengah jam berlalu, akhirnya kamar ini rapi. Aku duduk dilantai sembari meluruskan kaki dengan bersandar pada dipan.
Jika dipikir, apa yang aku alami ini ganjil sekali. Jatuh dari jembatan bukannya tenggelam tapi malah terdampar pada tahun 1319 Masehi, era Majapahit dalam pemerintahan Jayanegara. Aku tak mengerti konsep sains apa yang mampu membuatku melakukan time travel sejauh ini. 700 tahun bukanlah jarak yang dekat.
Lagi pula dalam kisah-kisah di platform kepenulisan online, yang kurang lebih sama seperti keadaanku ini, mereka dipertemukan dengan raja yang baik hati, dijadikan seorang putri di istananya, apapun keinginannya dipenuhi, dicintai penguasanya yang baik hati.
Lha aku? Memang aku mengalami time travel. Tapi jangankan bertemu dengan penguasa yang good looking, good attitude hingga diperlakukan layaknya tuan putri, aku justru dijadikan dayang dan dipertemukan dengan Jayanegara yang pemarah berhati batu itu. Kontras sekali hidupku ini.
Suara derap langkah membuatku kembali menegakkan tubuh. Pintu bergetar, seseorang muncul dari sana. Ratu Indreswari yang membawa nampan. Aku menghela napas lega.
"Kenapa belum sarapan, Ashmita?" Ratu Indreswari masuk lebih dalam. Meletakkan nampan itu di permadani tempat aku duduk. Ia juga duduk di bawah membersamaiku.
Lima menit kemudian, makanan di atas nampan itu tandas. Ratu Indreswari tersenyum. "Kamu seperti Jayanegara. Semarah apapun, sesedih apapun, tak akan pernah bisa menolak suapan."
Kesalku kembali. Moodku kembali kacau. Nama itu adalah penghancur suasana hati paling ampuh.
Kukira Ibu Indreswari akan bertanya lebih jauh, ternyata ia hanya tersenyum dan mengangguk. "Baiklah. Sekarang, apa lukamu telah diobati?"
Aku menggeleng. Ia tersenyum. "Kau sama seperti Jayanegara," ungkapnya seraya mengoleskan pasta warna cokelat kekuningan pada bahu dan dahiku. Perih. Aku meringis. Kesalku kalah dengan perihku.
"Lehermu juga?" Ibu Indreswari memekik.
Aku meraba leherku. Aku bahkan lupa memiliki luka di leher."Entah dari mana kau berasal, tapi sepertinya tempat itu begitu kejam padamu, Nak."
Mataku memanas mendengar itu. Apa boleh aku sependapat dengan Ibu Indreswari?
Kehidupanku di sana memang tak pernah mau memihakku. Apapun yang aku ingini selalu ditentang. Apapun usahaku selalu diculasi.
Kak Eka yang begitu membenciku saat menulis, Moza yang menatapku seolah hama dalam hidupnya yang harus dibasmi. Bahkan aku sudah mengalah agar ia tak di marahi orang tuanya, tapi dia justru ingin membasmiku selamanya.
Selama ini hanya satu orang yang baik padaku, yang mengerti diriku, Kak Aarav. Orang asing yang Tuhan berikan untukku melalui ekstra kurikuler jurnalistik. Ialah satu-satunya orang yang 'melindungiku' untuk menulis. Bahkan tanpa sepengetahuan siapapun, aku telah berhasil menerbitkan empat buku. Tentu saja melalui bantuan besar dari Kak Aarav. Itu adalah salah satu rahasia besarku bersama Kak Aarav.
Ah, Kak Aarav. Apa kabar dia di sana? Apakah dia sudah mendapatkan kabar diriku di sana? Sudah dimatikankah aku, atau dikatakan hilang?
"Apa sangat perih?" Ibu Indreswari merasa bersalah ketika mataku mulai menganak sungai. Buru-buru aku menggeleng.
"Sungguh?"
Aku mengangguk.
"Baiklah, aku cuci tangan, dan kamu bersih-bersih, ya?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Bukan Anjangsana (MAJAPAHIT)
Ficção Histórica"Baik dan buruk adalah kerelatifitasan, sedangkan benar dan salah adalah kemutlakan." Gadis melankolis tercebur ke abad 14, di mana kerajaan Majapahit masih nampak kerdil, dipimpin oleh Raja yang menyandang ejekan lemah lagi jahat. Bersamanya kita...