28

963 155 2
                                    

Aku tepekur di dalam kamar dengan mendekap erat kardiganku. Pikiranku melayang pada 2021, Kak Eka dan Kak Aarav—entah kapan aku bisa kembali ke sana, lalu pemuda jas hitam, alasan dan menyelesaikan kekacauan yang aku buat.

Pikiran-pikiran itu rasanya kurang banyak hingga aku menerima permintaan Jayanegara untuk melihat drama nanti. Saat ini sudah gelap, tinggal beberapa saat saja untuk dia datang menjemput.

Aku memakai kardigan dan beranjak keluar dari kamar. Tubuhku sudah tak sesakit sebelumnya, tapi hatiku masih.

Sebenarnya aku merutuki keputusanku dengan menuruti Jayanegara. Tentu saja aku menerimanya dengan maksud untuk mengetahui reaksi Mada. Kukira ia akan tetap peduli padaku dengan menolaknya—seperti adegan di film-film, tapi rasanya aku terlalu banyak melihat film hingga lupa bahwa Mada adalah orang yang selalu berpikir dengan akal. Ia bahkan tak bisa jatuh cinta, dari mana ia bisa memiliki perasaan?

Tanpa sengaja kakiku menginjak sesuatu yang lentur. Secepat kilat aku meloncat, dan membuat tubuhku kehilangan keseimbangannya.

Urung aku terjatuh, ada seseorang yang menahan tubuhku. Aku membuka mata perlahan. Kedua mata kami berpadu, tapi aku tak ingin berada di posisi ini dan memandang mata Mada lebih lama.

Aku buru-buru berdiri. "Terima kasih," ucapku seraya berjalan. Pergi. Seperti inginnya. Ia ingin aku menjauh bukan? Maka aku akan menjauh. Aku tak ingin kehadiranku dengan menentang maksud Mada justru mengubah catatan hidupnya.

"Kau akan melihat drama itu?" Suara Mada berhasil membuat langkahku terhenti. Setelah sekian lama ia kembali bertanya.

Aku membalikkan badan. Menjawabnya sebiasa mungkin, lantas kembali melanjutkan langkahku menuju beranda rumah. Menanti Jayanegara.

Sayup-sayup terdengar langkah kaki. Mada. Ia berdiri tepat di sisiku. Satu purnama lebih ia menghindariku, ketika aku memaksa meminta jawaban darinya, dia melukaiku. Kini, setelah aku memenuhi inginnya, justru dia mendekat. Apa yang dia mau?

"Apa kau masih berencana kembali ke 2021?"

Pandangku langsung menusuk wajahnya. Seharusnya dia tidak bertanya seperti itu. Walau ada ribuan keindahan yang ditawarkan oleh dimensi ini, aku tetap akan kembali ke 2021. Ini bukan rumahku. Apapun yang terjadi, jika ada kesempatan untukku kembali, maka aku akan kembali.

"Dulu aku berjanji akan membantumu untuk kembali. Begitupun dengan nanti. Aku tetap akan membantumu. Malam ini aku akan ke Kotaraja. Jika kau mau aku bisa mengantarmu ke grojogan dan membantumu mencari cara untuk kembali."

Mendengar itu aku tersenyum kecut. Kemana dia selama ini? Dulu ada banyak yang ingin aku bagi dengan dia—termasuk Pemuda Berjas, tapi sekarang aku tidak ingin lagi melibatkan dia.

"Terima kasih. Tapi rasanya tidak perlu. Aku bisa sendiri."

Bendi mulai nampak samar-samar—tertutup kabut malam—dari hadapan, namun suaranya terdengar jelas.

"Kau membenciku?" tebak Mada.

Aku menatapnya tanpa ekspresi. Menggeleng. "Mada, berhentilah menyelamatkan jika pada akhirnya kau juga yang melumatkan!"

Bendi itu mendekat. Berhenti tepat di depan rumah Nyi Laksmi. Seseorang turun dari sama, Jayanegara. Malam ini pemuda itu berdandan dengan amat rapi meskipun tanpa mahkota yang menghiasi kepalanya. Ia berjalan mendekati kami dengan senyum yang hangat. Ia bergantian memandang aku dan Mada.

"Selamat malam, Ashmita?" sapa Jayanegara renyah. Aku menjawabnya dengan ramah pula.

"Sudah siap?"

Aku mengangguk pelan. Ia menyilahkanku berjalan lebih dulu. Aku menurut. Aku langsung berjalan dan menaiki bendi itu. Beberapa detik kemudian Jayanegara naik dan bendi mulai melesat membelah jalan setapak yang remang disiram sinar bulan dan obor, meninggalkan Mada di depan rumah Nyi Laksmi seorang diri.

"Kenapa kita menggunakan bendi? Tidakkah jarak ke lapangan tak jauh?" tanyaku penasaran. Pasalnya memang jarak antara rumah Nyi Laksmi dan lapangan kurang dari lima menit jika ditempuh dengan jalan kaki.

Bendi telah berbelok, rumah Nyi Laksmi sudah tak terlihat. Di depan sana gemerlap cahaya di lapangan telah menyambut. Di sini pun sudah terasa ingar-bingar acara, beberapa orang menjual berbagai jenis makanan dan cenderamata, padahal lapangan masih beberapa meter di hadapan.

"Ingin saja," jawab Jayanegara ringan dengan senyum yang tak kunjung surut. Aku ikut tersenyum. Jika seperti ini aku akan lupa bahwa aku pernah begitu merutuki pemuda ini hingga ia adalah seorang raja yang menyandang ejekan.
Bendi terasa lengang sesaat.

"Ashmita, apa aku boleh bertanya? Em, lebih tepatnya ingin tahu."

"Apa?"

"Kenapa kau tidak memberitahuku jika kau dan Mada adalah saudara?"

Eh? Aku terkejut.

"Siapa yang memberitahumu?"

"Aku bertanya kepada Nyi Laksmi."

"Kenapa?"

"Aku merasa ganjil saja melihat kalian yang biasanya akur tapi akhir-akhir ini jangankan berbincang, bertemu saja langsung menghindar. Seperti orang bertengkar."

Aku tersenyum kecut. Bukan aku yang menghindar, tapi Mada.

"Ashmita, boleh aku mengatakan sesuatu?"

Aku mengangguk.

"Sepelik apapun masalah, serunyam apapun keadaan, seberbeda apapun pendapat kalian, itu tak berarti menghapus hubungan darah di antara kalian. Bagaimanapun juga, kalian tetaplah saudara. Perbedaan pendapat dalam menghadapi masalah itu wajar. Tapi jangan pernah lupakan hubungan kalian. Jangan saling membenci. Hidupmu adalah hidup Mada, hidup Mada pasti alasan dari kehidupanmu ini, kan? Percayalah padaku, kakakmu begitu menyayangimu. Sungguh."

Aku tepekur menatap nanar kedua kakiku. Pikiranku berpencar, satu pada Kak Eka. Saudaraku yang perintahnya dan maksudnya selalu aku ragukan, tak pernah aku percayai sebab bedanya cara kami memandang permasalahan.

Sedangkan pikiranku yang lain tertuju pada pemuda di sebelahku ini. Lihatlah, Jayanegara yang mendapatkan tinta merah dari sejarah kini tengah menasihatiku dengan kalimat yang sangat bijak.

Rasanya aku ingin kembali ke masa depan dan menunjukkan inilah orang yang mereka catat buruk. Aih, aku lupa jika sejarah tak sepenuhnya benar. Sebab sejarah ditulis oleh pemenang dan itu terserah pemenang mau menulis kisah kemenangannya seperti apa.

"Ashmita." Jayanegara memanggilku. Lembut. Aku menatapnya. Ia tersenyum padaku. "Kita sudah sampai."

Jayanegara segera turun dari bendi dan membantuku turun. Kalian tak salah melihat. Semenjak aku merawatnya, beginilah ia. Ramah.

Tanpa patih Halayudha di sisinya dan segala kekangan istana, aku melihat Jayanegara layaknya manusia. Tak aneh—sebenarnya dia tak pernah aneh, aku saja yang tak bisa melihat dari kacamata lain.
Kami berjalan bersisihan membelah kerumunan—menuju acara inti.

Bersamanya aku semakin menyadari bahwa apa yang terlihat tak selamanya seperti itu, dan apa yang tersembunyi tak selamanya buruk. Selalu ada alasan untuk apapun. Tapi terkadang kau tak harus memahami alasan itu untuk mengetahui apakah itu buruk atau tidak. Sebab buruk dan baik adalah suatu kerelatifitasan. Sedangkan benar dan salah adalah kemutlakan.

Bersambung...

Bukan Anjangsana (MAJAPAHIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang