Di dapur rumah Mada, aku mulai kupas-kupas jahe. Merebus air sembari mengeprek jehe dan sereh.
Saat airnya mendidih aku memasukkan sereh dan jahenya, tidak lupa dengan beberapa gelundung gula jawa. Menanti gula jawa larut dan air kembali mendidih.
Aroma minuman rempah ini begitu segar dan nikmat. Di era ini, inilah minuman favoritku, tidak terlalu manis tapi sangat melegakan dan hangat. Aku tidak tahu namanya, tapi aku suka. Jika aku kembali aku akan membuat Kak Eka dan Kak Aarav merasakannya.
"Ashmita, kau belum pulang?"
Sontak aku berdiri. Kegiatan kenang-mengenang menguap seketika, tergantikan oleh keterkejutan besar. Jayanegara tanpa permisi ataupun ketuk pintu masuk ke dalam rumah Mada. Dengan wajah polosnya ia telah berdiri di ambang pintu dapur.
"Kau tidak jadi pulang?" tanyanya lagi. Ia melangkahkan kaki mendekat.
"Ka-kau? Apa yang kau lakukan di sini?"
"Aku tidak sengaja melintas dan melihat rumah Mada terbuka. Ku kira aku bisa berbincang sesuatu dengannya di awal hari, tapi justru yang kutemui adalah kau, Ashmita. Mengapa kau masih di sini? Maksudku bukankah kau akan pulang?"
"Aku memang—"
"Eh, apakah itu minuman rempah?" Jayanegara menunjuk panci yang masih diatas tungku dengan api menyala. "Apa aku boleh memintanya?"
Aku mengangguk. Menyilakan Jayanegara duduk di ruang tamu, sementara aku membereskan minuman ini dan menyajikannya pada dia.
Awalnya aku sedikit sangsi untuk menyajikan ini pada Jayanegara, tapi mengigat apa yang dia katakan malam itu, membuatku menepis keraguan. Jayanegara sudah tidak mencintaiku, lebih tepatnya ia hanya penasaran saja denganku.
"Terima kasih," ucap Jayanegara selepas aku memberinya secangkir minuman rempah. Aku tersenyum simpul.
"Duduklah, temani aku berbincang sepatah dua patah kata, sebagai penutup perjumpaan kita," ujarnya ramah. Senyumnya terlihat meyakinkan.
Akhirnya aku menurut, duduk di seberang tempat ia duduk. Di hadapan kami terbentang meja kayu, dengan vas bunga di tengahnya, Jayanegara meraih mawar yang ada di vas bunga. Menghirupnya.
"Kau menyukai mawar?" Jayanegara sembarangan mencomot topik.
"Tidak terlalu."
"Kenapa?" Jayanegara meletakkan bunga ke asalnya.
"Tidak ada alasan khusus. Aku hanya sekedar suka dengan mawar."
Jayanegara manggut-manggut.
"Kau menyukai bunga?"
Aku tersenyum tipis. "Ada apa denganmu? Mengapa ganjil sekali sikapmu ini?"
"Eh?" Jayanegara tersenyum, menggaruk kepalanya yang tidak gatal. "Kapan kamu pulang?"
Aku menghela napas samar. "Nanti ketika aku telah diberikan izin."
Jayanegara menautkan alisnya. "Izin? Memang Mada belum memberimu izin?"
Andai itu sebatas Mada, mudah untukku pulang, sayangnya aku harus memastikan banyak hal dan berbagai halangan yang dibuat seseorang dengan memperalat Mada.
"Ashmita, aku ingin mengajakmu berpelesir mengelilingi Majapahit."
Eh?
"Tidak dalam rangka apa-apa, hanya sekedar berpelesir sebagai tanda terima kasih dan perpisahan saja. Sebatas itu. Bagaimana?"
"Aku harus izin dulu pada Kangmas Mada," dalihku.
"Aku sudah izin kemarin. Sekarang jika kau mau kita bisa berangkat. Tidak sampai malam, sebelum matahari tumbang ke barat kita akan pulang."
Aku ingin menolak mentah-mentah. Tapi jika aku menolaknya, aku tak tahu masalah apa yang akan timbul, namun jika aku menerimanya kerumitan apa lagi yang terjadi?
"Apa Kangmas Mada mengizinkan?"
"Ia tak keberatan. Ia menyerahkan segala keputusan pada dirimu."
Harusnya aku menolak ajakan Jayanegara. Harusnya, tapi yang keluar dari mulutku justru sebaliknya. "Baiklah."
Mendengar keputusanku, senyum langsung memenuhi wajah Jayanegara. Tentu saja. Melihat senyum itu membuatku sedikit ragu, apakah benar ia telah berhenti memdambatkan namaku di dermaga hatinya?
Atau justru dialah yang memperalat Mada?
Bersambung ...
KAMU SEDANG MEMBACA
Bukan Anjangsana (MAJAPAHIT)
Historical Fiction"Baik dan buruk adalah kerelatifitasan, sedangkan benar dan salah adalah kemutlakan." Gadis melankolis tercebur ke abad 14, di mana kerajaan Majapahit masih nampak kerdil, dipimpin oleh Raja yang menyandang ejekan lemah lagi jahat. Bersamanya kita...