51

1K 135 0
                                    

Tanah kelahiran, 2021.

Suara kayu terbakar memenuhi ruang tengah. Seluruh tubuhku telah terbungkus dengan selimut tebal, menikmati secangkir cokelat hangat dengan menatap api yang menari anggun di dalam perapian. Aku sudah kembali ke 2021 satu minggu yang lalu.

Awalnya aku mengira, aku telah hilang berbulan-bulan, seperti waktuku di Majapahit. Saat aku bangun dari pingsan, otakku berputar memikirkan cara menyampaikan kejadian yang aku alami agar logis diterima akal, tapi kepalaku tidak kunjung menemukan penjelasan logis itu. Penjelasan fisika mungkin bisa, tapi bagian mana?

Namun pada akhirnya kecemasanku tak beralasan. Pasalnya kejadian itu hanya terhitung beberapa detik di dunia ini. Kecelakaan itu tejadian itu secepat kilat. Aku terjatuh, dan Kak Aarav langsung berlari ke bawah, menceburkan diri untuk menyelamatkanku. Ya, sesingkat itu.

"Kak Aarav tahu dari mana aku terjatuh?" tanyaku pada Kak Aarav yang kini berada di sisiku melihat gemeletuk api.

"Moza yang bilang."

"Moza?" Bagaimana mungkin? Moza sendiri yang bilang jika dia tidak mau memanggil seseorang.

Aku lupa. Moza bukanlah orang jahat. Dia orang baik yang kebetulan dihadapkan oleh keadaan yang tidak mendukung. Moza orang yang hebat. Bisa mengendalikan ambisinya. Banyak orang yang tak bisa mengendalikan ambisi hingga menelan banyak nyawa untuk mewujudkan ambisi itu. Termasuk aku, bukan nyawa secara harfiah, tetapi tetap saja, banyak yang dirugikan olehku. Di Majapahit sana, atau di sini.

"Gimana, jadi beli kumpulan soal UTBK?"

Aku mengangguk.

Itu adalah rencana jauh-jauh hari dan seharusnya rencana itu lebih cepat aku realisasikan. Tapi apalah daya, aku baru saja menyadarinya satu minggu lalu saat aku kembali ke dimensi ini.

Kemarin saat aku masih belum sehat betul Kak Eka merawatku dengan baik. Dalam lelapku aku mendengar Kak Eka berbicara banyak hal yang nyaris membuatku menitihkan air mata.
Ia tidak membenciku ataupun mimpiku sebagai penulis. Ia hanya ingin aku kuliah dengan prospek kerja yang bisa dijadikan cadangan jika kelak kemungkinan-kemungkinan tak terduga timbul. Banyak misteri di dunia ini dengan berbagai kemungkinan.

"Sepertinya setelah jatuh kamu jadi makin ngerti, Mit," celetuk Kak Aarav setelah kami berada di dalam mobil. Setumpuk buku kumpulan soal UTBK telah teronggok membisu di jok belakang.

Aku melirik pemuda yang diam-diam aku kagumi itu. Andai dia tahu aku bukan sekedar jatuh, melainkan terlempar ke abad-12, kira-kira apa reaksinya.

"Iya. Ngerti banget kalau jatuh itu sakit," selorohku. Kak Aarav tertawa. Aku juga.

Mobil mulai melipir ke tepi. Berhenti di depan bangunan berlantai dua yang tak terlalu besar. Tapi koleksi buku-buku didalamnya cukup lengkap. Apalagi perihal karya sastra.

"Kamu masuk dulu, aku parkir mobil dulu."

"Siap!"

Aku turun dari mobil. Bergegas masuk ke dalam perpustakaan daerah itu. Seperti perpustakaan kebanyakan, di sini pengunjungnya juga sedikit. Apalagi hari ini. Sangat sepi. Tidak lebih dari enam orang—sudah termasuk aku dan Kak Aarav.

Aku melangkah masuk ke dalam perpustakaan, langsung menuju ke rak novel. Kak Eka memang memintaku untuk kuliah jurusan bisnis, tapi dia tidak melarangku untuk tetap menekuni hobiku.

Kak Eka tahu jika selama ini aku diam-diam menekuni hobi itu. Hal terbaiknya adalah prestasiku tidak turun. Jadi Kak Eka percaya aku bisa membagi waktu, hal yang tak pernah aku sadari. Aku selalu berpikiran buruk, tetapi Kak Eka tidak.

Langkahku terhenti saat melihat buku berjudul Majapahit teronggok di atas meja. Pikiranku tiba-tiba menampilkan Jayanegara dan Mada.

Penasaran dengan kelanjutan hidup Jayanegara, aku meraih buku itu. Siapa tahu itu terabadikan dalam aksara. Dari blurdnya, buku ini menjelaskan awal mula berdiri hingga runtuhnya Majapahit.

Aku membukanya. Buku ini menulis sejarah awal kerajaan di tanah Jawa. Tapi aku tak punya waktu sebanyak itu untuk menapak tilas sejarah. Aku terlalu penasaran dengan kelanjutan hidup Jayanegara selepas pemberontakan Rakryan Kuti—atau lebih tepatnya setelah kepergianku.

Mataku langsung membulat sempurna melihat sub judul mengenai pemerintahan raja kedua Majapahit: Jayanegara; Si Keji yang Lemah.

Keji? Lemah? Kalagemet?

Ingatan tentang malam itu kembali segar.

Aku kembali fokus pada buku itu, membacanya pelan-pelan. Darahku tersirap. Di sana tertulis jika Jayanegara begitu suka bermain wanita. Dia bahkan akan menikahi kedua adiknya dengan dalih demi menjaga takhtanya.

Bagaimana mungkin?

Belum cukup kisah itu, kini tentang pembunuhan Jayanegara. Entah benar entah tidak, di sini tertulis Mada turut campur dalam pembunuhan Jayanegara. Lebih tepatnya pembunuhan ini didalangi oleh Mada agar Jayanegara tidak menikahi kedua saudarinya.

Napasku menderu. Ini, kenapa sejarah jadi seburuk ini?

"Ada apa, Mit?" bersamaan dengan itu, sebuah tangan hinggap di bahuku. Membuatku sedikit terkejut.

"Kamu nggak papa?"

Aku menggeleng. "Kak, apa sejarah ini begini?"

"Begini gimana?" Kak Aarav mengambil buku di tanganku. Membaca sekilas bab Jayanegara. "Ya, memang begini yang ditulis."

"Kenapa Jayanegara begitu?"

Kak Aarav menatapku. Ia menggeleng. "Aku tidak tahu, Mit."

"Apa itu benar?"

Kak Aarav kembali menggeleng. "Aku hanya suka sejarah, Mit. Aku bukan arkeolog atau ahli sejarah. Aku juga tidak hidup di zaman itu, Mit." Kak Aarav tertawa kecil.

Aku turut tersenyum. Masam. Kenapa aku bertanya pada Kak Aarav jika aku lebih tahu banyak? Aku pernah bertemu, bicara, dan bahkan seatap dengan mereka.

"Mit," Kak Aarav memegang kedua bahuku, "aku tidak tahu ini benar ataukah tidak. Aku tidak bisa memberikan jawaban karena memang aku tidak tahu. Tapi sejarah ditulis oleh pemenang. Pemenang berhak menuliskan apapun. Dan kau tahu, tak ada seseorang pun yang bisa dipercaya dengan sepenuhnya di dunia ini. Semua itu bisa benar, bisa tidak. Tak ada yang tahu. Percaya tidaknya kita, itu terserah kita. Yang terjelas sejarah ada untuk pembelajaran, bukan alat pembangkit perselisihan."

Aku mengangguk.

"Sudah dapat bukunya?"

"Sudah."

"Pulang?"

"Iya."

Dengan perasaan campur aduk kami berjalan ke meja pustakawan untuk didata. Aku mencemaskan surat yang di bawa Lintang. Apakah itu sampai di tangan Jayanegara ataukah tidak.

"Permisi?" Seseorang memanggil kami dari belakang. Sontak aku dan Kak Aarav menoleh.

Seperti tersambar petir yang maha dahsyat, aku terhenyak. Mulutku kelu dan aku tak mempercayai mataku.

Bersambung ...

Bukan Anjangsana (MAJAPAHIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang