Aku menatap gelisah lembayung senja. Setelah dari perpustakaan, aku meminta Kak Aarav mengantarku ke tanjung, mendengar debuman ombak dan melihat sungai hijau yang terbentang di hadapanku. Aku sudah kembali ke 2021, tetapi dengan adanya bagian Majapahit yang kemari, maka semua sama saja.
Aku mengusap wajah gusar. Aku benar-benar letih dengan segala kisah ini. Sungguh."Kau di sini? Pantas saja pemuda itu ada di depan."
Aku mendongak. Menghela napas berat. Kenapa sekarang bagian Majapahit itu berdiri di depanku?
"Kau menangis, Ashmita?" Jayanegara menatapku prihatin.
"Aku letih. Aku sungguh-sungguh letih dengan semua ini."
Tanjung lengang, hanya isakanku yang terdengar sayup-sayup.
"Apa yang kau lakukan di sini?" tanyaku setelah selesai terisak.
"Aku akan pulang."
"Maka pulanglah!"
Jayanegara bergeming. "Aku ingin mengatakan apa yang menjadi alasanku kemari."
Aku diam, tak berniat mendengarkan secara serius.
"Aku mencintaimu."
Aku tak terkejut. Aku sudah kenyang dengan kata itu.
"Kata yang seharusnya aku ucapkan sedari dulu—lima belas tahun dalam Majapahit atau 702 tahun dalam tempatmu—."
Tanjung kembali disergap bisu.
Jayanegara melangkah pergi, mendekati penghalang jembatan. Aku menatapnya datar."Aku sudah mengatakan apa yang ingin aku katakan. Aku tahu ini tak berarti apapun bagimu, sebab aku tahu kau telah bahagia di sini bersama orang yang mencintaimu dan kau cintai. Mengetahui kenyataan itu aku sudah sangat lega. Kini aku bisa menjalani konspirasi itu dengan lega. Maaf telah membuatmu menderita hingga detik ini, Ashmita."
Aku mendongak, menatap Jayanegara. "Maksudmu?"
"Sebenarnya aku bukanlah reinkarnasi, Ashmita. Aku benar-benar Jayanegara. Aku kemari melintasi portal." Jayanegara tersenyum ramah.
"Jika begitu kau tak bisa kembali sebelum matahari terbenam."
Jayanegara menggeleng. "Ini portalku. Aku bisa mengaksesnya kapanpun, asalkan niat yang tulus dan hati yang bersih."
Aku terdiam.
"Tulisan memang mampu mengabadikan. Tetapi poinnya bukan terletak apa yang tertulis tapi siapa dan mengapa hal itu ditulis. Tulisan tak membuktikan apa yang benar atau apa yang salah, tulisan hanya menunjukkan siapa yang menang.
"Ashmita, dunia ini hanya terfokus pada siapa yang menang. Seolah yang tak menang dipandang jahat, lemah, tak layak ada. Sedangkan yang menang dielu-elukan, dipuja bak dewa."
"Apa maksudmu?"
Jayanegara mengangkat bahu. "Aku tidak bermaksud apapun. Terima kasih telah masuk dalam hidupku. Terima kasih telah menjadi putri ibuku. Terima kasih, Ashmita. Aku mohon maaf selama di Majapahit kau selalu disusahkan."
Urung aku keluar dari permainan kata-kata Jayanegara, pemuda itu meloncat dari jembatan. Jatuh berdebum di sungai hijau itu, lantas raib, menyisakan bekas percikan dan riak kecil.
Bersambung...
KAMU SEDANG MEMBACA
Bukan Anjangsana (MAJAPAHIT)
Historical Fiction"Baik dan buruk adalah kerelatifitasan, sedangkan benar dan salah adalah kemutlakan." Gadis melankolis tercebur ke abad 14, di mana kerajaan Majapahit masih nampak kerdil, dipimpin oleh Raja yang menyandang ejekan lemah lagi jahat. Bersamanya kita...