41

842 141 0
                                    

"Ya Tuhan, Ashmita! Kapan kau mau mendengarkan ucapanku?!" Mada telah berdiri sempurna di depanku. Bicara panjang lebar. Aku kurang memperhatikan apa yang Mada ucapkan selanjutnya, fokusku masih terjebak dengan cara Pemuda Berjas itu. Ajaib. Menakjubkan!

"Ashmita! Kau mendengarku?!" Mada mencengkeram kedua bahuku erat. Seketika fokusku kepadanya.

"Hah, iya?"

"Ashmita, ini sudah malam. Tidak bisakah sekali saja saat kau pergi izin dulu? Di sana, Maharaja mengerahkan banyak prajurit untuk mencarimu."

Aku menghela napas. Jayanegara memang menyebalkan dan akan tetap menyebalkan. Tak pernah berubah!

Begitu pula dengan Mada, ia membicarakan izin. Lupakah ia dengan ribuan izin yang selalu ia tolak dengan berbagai alibi itu, sampai-sampai aku harus mengambil keputusan paling bodoh itu?

"Ia begitu mengkhawatirkanmu, Ashmita."

"Memang kenapa? Aku siapanya? Aku bukan siapa-siapanya!"

"Dia peduli padamu. Dia mencintaimu. Jika sesuatu terjadi padamu, dia tidak akan pernah memaafkan dirinya."

Telingaku terasa panas mendengar kata dia. Persetan dengan dia! Sedangkan Mada? Orang ini selalu memuja Jayanegara seolah ia dewa.
Terus-menerus melibatkan orang itu dalam pembicaraan kami. Lihatlah bahkan ia belum pulih dari racun itu, tapi demi Jayanegara ia rela mencariku ditengah malam dan itu demi dia. Demi manusia yang tidak memiliki malu.

"Ashmita ..."

"Dia dia dia," potongku dengan nada tajam. "Selalu Jayanegara Jayanegara dan Jayanegara. Tak pernahkah kau sekali saja mengkhawatirkan aku murni dari dirimu sendiri? Jika tidak seperti saudara—yang kau koar-koarkan pada orang lain—setidaknya seperti manusia pada manusia lain."

"Kau mulai lagi, Ashmita." Mada menatapku jeri.

"Aku mulai karena kau yang membuka kesempatan!" Aku menatapnya tajam, seraya beranjak dari tempat ini. Aku tak ingin berdebat lebih lama lagi. Beberapa saat lalu aku begitu mencemaskan dia, tapi saat selanjutnya aku kesal dengannya.

Mada menyengkal lenganku. "Jika begitu kita akhiri."

Aku menghempasnya, tak terlepas. "Apa yang akan kau akhiri? Drama kebohongan saudara ini?"

"Termasuk." Nada Mada tetap tenang dan datar. Raut wajahnya stabil. Selalu begitu.

"Ayo!" Ia menarikku, menyuruhku duduk di atas batu tepi sungai. Aku menurut. Karena kini rasanya mustahil menentang Mada. Waktu itu ia saja bisa mendorongku hingga demikian, jadi kali ini tak susah untuknya menceburkanku ke sungai itu.

Bukan karena aku takut hanyut di sungai, melainkan ketika aku hanyut, aku tidak tahu akan bermuara di mana. Aku akan kehilangan grojogan dan portal itu.

"Waktu itu kau pernah bertanya, 'Apakah aku pernah jatuh cinta', kan?" Mada tertawa kecut. "Sebenarnya di dunia baruku ini—Majapahit—satu orang pun tak tahu latar belakangku yang sebenarnya. Sama sekali tidak."

Aku tercekat. "Termasuk cerita itu? Jadi semua kisahmu dusta?"

"Ashmita, untuk pertama kalinya aku menunjukkan jati diriku pada seseorang." Mada menatapku sejenak, sebelum kembali melihat grojogan.

"Aku pernah jatuh cinta. Aku pernah merasakan getaran itu. Aku pernah mencintai seseorang dengan mendalam. Aku paham amarahmu saat aku memaksamu menerima tawaran itu dan menolak berpura-pura. Aku paham itu semua, Ashmita."

Mada kembali menatapku, "Aku bahkan paham bagaimana rasanya saat kita menjadi alasan dari kematian seseorang karena cinta.

"Dulu, saat aku masih menjadi prajurit kelas teri di Kahuripan, perasaan itu hadir. Aku mencintai Dyah Ajeng Puranti, putri dari penguasa Kahuripan, Demang Suryanata.

"Boleh disebut, Puranti adalah cinta pertamaku. Dia adalah gadis yang baik, ramah, sekaligus santun. Banyak lelaki yang jatuh hati padanya. Tak terkecuali diriku.

"Aku merasa begitu ingin menjadikannya istriku. Meminta dia pada ayahandanya. Tapi aku sadar diri, siapalah aku di mata Demang Suryanata. Walaupun aku putra dari Gajah Pangon, ia tetap tak akan membiarkan putrinya menikah denganku, seorang prajurit kelas teri.

"Kau tahu hal yang membuatnya berat, Ashmita? Puranti juga diam-diam mendirikan mahligai di hatinya atas namaku. Matanya juga diam-diam mengamatiku seperti aku yang selalu mengamatinya. Aku sangat bahagia dengan itu. Nyaliku yang sempat menciut karena kasta, tiba-tiba menjadi begitu percaya diri. Aku akan meminangnya. Aku akan memberitahukan kepada Demang Suryanata bahwa aku adalah cucu dari raja Singosari, Kertanegara. Walaupun aku cucu dari istri selirnya, aku masih memiliki darah sinelir. Darah Ken Dedes dan Tunggul Ametung ada dalam diriku."

Aku terhenyak. Berarti paling tidak posisi Mada sama dengan Dyah Gitaraja dan Dyah Wiyat—bedanya Gitaraja dan Wiyat memiliki dua darah wangsa sekaligus, rajasa dari Raden Wijaya dan sinelir dari Ratu Gayatri. Atau paling tidak jika bicara mengenai darah rajasa dan sinelir, darah Mada lebih pekat dibandingkan darah Jayanegara, yang sekedar putra dari perempuan upeti yang berasal dari kerajaan Minangkabau, Dharmasraya.

Aih, inilah agaknya kenapa Mada begitu menyayangi Majapahit, reinkarnasi kerajaan kakeknya, Singosari. Bukan karena ia mengabdi pada pemimpinnya yang demikian menguras kesabaran, melainkan ia menghargai dan ingin merawat, agar kerajaan reinkarnasi ini tak kembali hancur.

"Tapi aku kalah, bahkan sebelum bertempur." Kini mata Mada menatapku. Tatapannya sangat mengibakan hati. Ia tersenyum masam.

"Raden Damar, putra Patih Rangga Tanding lebih dulu meminang Puranti. Tak ada alasan Demang Suryanata untuk menolak pinangan itu, dan Puranti adalah wanita, makhluk tanpa suara dan tak pernah diizinkan bersuara. Puranti putri yang begitu penurut, tak pernah sekalipun menentang kehendak orang tuanya."

"Dia menikah dengan Raden Damar?"

Mada mengangguk. "Mereka menikah, dan terlihat bahagia. Maka waktuku untuk bahagia pula menyaksikan cintaku bahagia."

Aku meringis. "Itu pasti sangat sakit."

Mada menggeleng. "Andai itu kenyataannya maka aku akan sungguh-sungguh bahagia."

Bersambung ...

Bukan Anjangsana (MAJAPAHIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang