31

871 148 2
                                    

Tiga hari waktu yang dibutuhkan untuk menumpas seluruh pemberontakan Ra Kuti dan para Dharmaputra yang terlibat. Siang ini Mada dan Jayanegara kembali untuk menjemput anggota keluarga untuk kembali ke keraton. Raut-raut bahagia, mengguar jelas dari wajah mereka.

Aku juga lega, akhirnya salah satu kekacauan ini berakhir. Tak lama lagi aku akan kembali ke rumahku.

"Mau kemana, Nduk?" tanya Nyi Laksmi yang melihatku tengah bersiap.

"Kamu mau ikut dengan kakakmu?" tebak Nyi Laksmi dengan wajah meredup. Saat ini Rashmi telah pergi ke rumah mertuanya. Di sini Nyi Laksmi sendiri. Tak ada lagi Dharmo.

"Aku akan pulang, Nyi. Ke tanah asalku."

"Bukankah kalian sudah tak memiliki ibu-bapak dan kerabat?"

Aku tersenyum. "Tapi di sana ada kenangan ibu dan bapakku, Nyi. Aku ingin bersama dengan kenangan mereka. Aku ingin dekat dengan pusara mereka."

"Jika bukan karena di sana letak pusara dan kenangan orang tuamu, aku ingin sekali kau tetap tinggal di sini. Bersamaku. Tapi aku tidak boleh egois, kan? Harus ada seseorang yang mengurus pusara mereka."

"Terima kasih Nyi Laksmi, telah mengizinkanku tinggal di sini, telah menjadikanku layaknya anak sendiri. Terima kasih, Nyi."

Nyi Laksmi segera mendekapku. "Sama-sama, Nduk."

"Mada, apa kau akan mengantar dia?" tanya Nyi Laksmi tiba-tiba pada Mada yang baru saja datang.

"Iya, Nyi." Mada mengangguk. "Kami pamit, Nyi."

Nyi Laksmi mengangguk. Melepas kami dengan perasaan terpaksa. Sedangkan aku, rasa bersalah itu terus saja membuatku membenci diri sendiri.

***

Di area kedaton bekas-bekas pergolakan masih terlihat. Kacau di mana-mana, bahkan bekas darah masih belum banyak yang dibersihkan.

Aku bergidik ngeri saat beberapa prajurit menyeret jasad orang yang menikam Dharmo—Rakryan Pangsa—layaknya menyeret karung. Kondisi orang itu sungguh mengenaskan.

"Dia yang terakhir meninggal," bisikan Mada membuat bulu romaku berdiri.

Di gapura kedaton sudah ada beberapa orang yang menyambut. Ada Patih Halayudha. Ia tidak apa-apa. Ia bahkan tersenyum menyambut rombongan kami.

"Kamu tahu selama ini dia di mana? Dia dimasukkan dalam penjara. Rakryan Kuti melihat Halayudha adalah ancaman," bisik Mada di sisiku.

Aku ber-oh pelan, dengan kaki terus berjalan mendekati gapura kedaton, meskipun sebenarnya aku sama sekali tak ingin kembali ke bangunan itu.

Aku lebih ingin ke grojogan dan mengakhiri segalanya, secepat, sebelum Jayanegara melanjutkan niatannya.

Aih, itu hal terburuk jika benar-benar sampai terjadi.

Terlepas dari itu semua, Jayanegara memiliki hak untuk penjelasan, aku harus mengatakan yang sebenarnya pada Jayanegara. Tak mungkin aku pergi tanpa bicara apapun. Itu pasti akan membuatnya terluka dan berharap dalam satu waktu. Kesalahanku sudah begitu banyak, aku tak mau menambahinya lagi.

"Ashmita."

Deg! Kakiku langsung berhenti, dadaku berdentum tak karuan. Kenapa Patih Halayudha tiba-tiba memanggilku?

Gemetar aku melihatnya. "Iya?"

"Aku minta maaf telah berburuk sangka padamu selama ini. Aku kira kau adalah ancaman bagi Majapahit, tapi ternyata kau adalah adik Mada."

Aku tergugu. Bagaimana semua bisa tahu sandiwara ini?

Sebuah tangan singgah di punggungku. Ratu Indreswari. "Mada sudah cerita. Wajar, jika kalian berpisah lalu bertemu setelah bertahun-tahun kemudian, Mada lupa wajahmu, dan kamu lupa wajah Mada."

Aku menatap Mada. Ia langsung merangkulku. "Dahulu sebelum aku pergi umurnya masih delapan tahun. Kini sudah menjadi gadis."

Aku menautkan alis. Menatapnya. Di tengah kebingunganku, justru seluruh orang di sana tertawa.

Dusta apalagi yang telah disebarkan Mada?

Bersambung ...

Bukan Anjangsana (MAJAPAHIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang