52

1K 143 2
                                    

"Permisi?" Seseorang memanggil kami dari belakang. Sontak aku dan Kak Aarav menoleh.

Seperti tersambar petir yang maha dahsyat, aku terhenyak. Mulutku kelu dan aku tak mempercayai mataku.

"Maaf, itu buku saya." Dia menunjuk buku Majapahit yang tidak sengaja dibawa Kak Aarav. Wajah Kak Aarav langsung bersemu merah menahan malu.

"Ah, maaf. Kami tidak sengaja," ujarnya jengah. Andai ini berada di keadaan yang baik-baik saja aku akan tertawa. Tapi ini tidak baik-baik saja.

"Iya, tidak apa." Senyum dari orang itu pun sama. Cara berjalannya pun sama.
Ya Tuhan.

"Ayo, Mit." Kak Aarav memegang tanganku. Aku tahu dia sudah hilang muka di depan orang itu. Tapi muka orang itu masih segar di ingatanku.

"Mit ..." Suara Kak Aarav terpotong dering ponselnya. Ia mengeceknya, wajahnya langsung berubah.

"Aku tunggu di luar, ya." Kak Aarav melepas tanganku. Aku menatap Kak Aarav yang berjalan menjauh dengan tatapan nanar. Aku hanya bisa mengagumi dan itu dalam bungkam. Ya, hanya dalam bungkam dan akan terus dalam bungkam. Entah bagaimana akhirnya nanti.

"Sudah, Mbak?" sapa Mbak pustakawan ramah. "Sudah lama tidak kemari. Bagaimana ujiannya? Lancar?" Mbak pustakawan menerima buku yang aku pinjam. Mendatanya.

"Lancar, Mbak."

Setelah menanti beberapa saat, akhirnya acara data-mendata selesai. Aku berjalan keluar. Tetapi sekonyong-konyongnya sebuah tangan menyengkal lenganku. Membuat langkahku terhenti seketika.

Aku hendak memarahi orang itu, karena telah lancang memegang lenganku. Namun urung. Melihat siapa dia, perasaanku langsung campur aduk. Wajah yang sama membuatku serba salah.

"Maaf," ucapku tanpa menatapnya seraya mencoba melepaskan cengkraman tangannya.

"Dahulu kau meninggalkanku, dan sekarang pun sama. Kau menjauhiku. Kurangkah waktu 702 tahun itu untuk kau tak kunjung menyadarinya?"

Aku terhenyak sekaligus menautkan alis. Ini mustahil.

"Maaf, apa saya mengenal, Anda?"

Dari wajahnya aku sudah tahu dia, Jayanegara. Tapi mustahil! Reinkarnasi tak pernah ada. Aku tak mempercayai itu.

"Mengapa engkau begitu ingin jauh dari cintamu ini, Dyah Ajeng Ashmita?"
Cintamu?

"Maaf, sepertinya Anda salah orang." Aku melangkah pergi, tapi dia memotong jalanku.

"Tujuh ratus dua tahun aku menanggung derita cinta ini, Ashmita. Engkau yang tetiba pergi begitu saja, bahkan mengingkari perkataanmu sendiri, hingga aku mati di tangan Ra Tanca yang penuh dengan konspirasi, aku masih tetap memberi kehidupan pada pengharapan cinta ini."

"Sekali lagi saya tegaskan, saya tidak mengenal Anda."

"Mungkin kau tidak tahu namaku di zaman ini," ia tersenyum. Sebuah senyum yang sama seperti sebelumnya. Hatiku menciut. Ia mengulurkan tangannya. "Aku Adhiswara."

Aku tak menyambut uluran tangannya. "Aku reinkarnasi dari Sri Maharaja Wiralandagopala Sri Sundarapandya Dewa Adhiswara, seorang raja kedua Majapahit yang mencintai seorang gadis yang ditemuinya di depan grojogan. Seorang gadis yang bukan saja menjadi penawar bagi ibuku tapi juga diriku sendiri. Seorang gadis yang tidak tahu apa-apa, tapi harus menanggung banyak masalah karena dekat denganku, hingga nyaris dihabisi oleh Halayudha. Untuk itu, aku minta maaf dan terima kasih.

"Dahulu di depan rumah Nyi Laksmi, di atas bendi ada sesuatu yang ingin aku nyatakan. Setelah eksekusi Halayudha juga aku mencarimu di segala penjuru istana untuk mengatakan ini, tapi kau lebih dulu pergi. Tapi tak apa. Sekarang aku bisa mengatakannya. Tuhan kembali mempertemukan kita di kehidupan ini.

"Ashmita, aku mencintaimu. Aku ingin menjadikanmu sebagai permaisuriku. Mungkin sekarang aku tidak lagi seorang raja, tapi sekarang tak ada lagi pemberontakan yang akan terjadi. Tak ada perang, darah, ataupun pelarian."

Aku tak ingin mempercayai ini, tapi bukankah time travel yang aku jalani juga cacat logika? Aku menghela napas kasar.

"Aku tidak tahu kau mendapatkan kisah itu dari mana, dan aku tak peduli darimana kau mendapatkannya. Tapi satu hal, jika kau sungguh-sungguh atas perkataanmu maka, dengarkan ini. Aku sudah menerangkan tentang kepergianku, alasanku, dan semuanya dalam surat. Apakah tak ada yang memberimu surat?"

"Surat itu sampai padaku."

"Lantas apa ini?"

"Aku mencintaimu, Ashmita."

Aku menepuk dahi. Orang ini sejak awal aneh. Bahan sekarang jauh lebih aneh.

"Mungkin waktu ratusan tahun sedikit memudarkan ingatanmu. Sekarang dengarkan, ini mungkin menyakitkan tapi kau pasti telah merasakan ini dahulu.

"Aku tidak bisa membuka hati ketika hatiku telah terkunci untuk seseorang," aku mengulang sepenggal kalimat dari suratku dulu.

Lengang. Pemuda itu membisu. Aku mengambil langkah tapi ia kembali mencengkal tanganku.

"Lepaskan!" erangku tertahan.

Dia melepaskan. "Dahulu kita tak bisa bersama karena semesta tak memihak. Kini, Tuhan memberikan kita kesempatan untuk bersatu, tapi mengapa kau mengelak?"

"Karena jalan cerita kita bersinggungan."

"Aku sudah terlahir kembali. Aku dan kamu sudah setara."

Aku menggeleng. "Kita tak pernah setara."
Perpustakaan lengang sejenak.

"Maafkan aku, Jayanegara. Maaf." Aku mencoba mengunakan nada serendah mungkin seraya beranjak pergi. Meninggalkan Adhiswara atau Jayanegara atau siapalah itu di dalam sana. Aku yakin, jika dia adalah Jayanegara yang sama. Sebab tak ada yang lebih batu dari pada manusia satu itu.

Beberapa detik kemudian aku sampai di mobil Kak Aarav, masuk dan duduk dengan mood yang sedang kocar-kacir karena Jayanegara. Aku tak mengerti mengapa dia bisa begitu diperbudak oleh perasaannya.

"Ada apa?"

Aku menggeleng. Tak ingin berbicara. Keadaan ini, kenapa harus mengikutiku hingga 2021?

Kak Aarav menatapku sejenak. Ia memilih diam, tak bertanya lebih. Itu lebih baik.

Mobil melesat membelah jalanan kota yang lengang. Siang ini dengan matahari super terik, Jayanegara kembali hadir dan membuatku ingin membencinya, sekali lagi.

Bersambung ....

Bukan Anjangsana (MAJAPAHIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang