Kini, dinding tak kasat mata itu tepat di hadapan. Jarak kami hanya tinggal satu depa saja.
Sejenak, memori otakku mulai memutar rangkaian kejadian di tempat ini. Mulai dari pertemuanku dengan Mada dan Jayanegara, dilanjutkan dengan Pemuda Berjas yang maha aneh, hingga perpisahanku dengan Lintang yang mengingatkanku akan Dharmo beserta sudut pandang baru tentang cita-cita.
Lintang selama ini ingin menjadi prajurit, tapi ia tak berani bicara pada ibunya. Ia takut ibunya tak memberikan izin. Selain itu ia khawatir ibunya akan marah dan menentang cita-citanya. Segala hal tentang inginnya ia sembunyikan sendiri.
Ia anak tunggal dan tak mampu mempercayai kawan-kawannya. Ia takut mimpinya akan melukai ibunya. Iya, itu yang ia cemaskan. Ia bahkan tak peduli jika ibunya menentangnya. Berbeda denganku yang justru memaksakan kehendakku pada Kak Eka. Jika Kak Eka tak mengizinkan aku tetap diam-diam melakukan itu. Aku bahkan tak peduli pada perasaan Kak Eka. Aku sangat egois.
Tanpa sadar air mataku mengalir. Aku menyekanya."Maafkan aku, Kak Eka," lirihku.
Ah, maaf. Rasanya maaf tak cukup untuk menebus ribuan kesalahanku ini. Aku adalah manusia paling tak tahu diri. Aku tak pernah menjadi korban, aku terperosok oleh kesalahanku sendiri, tetapi aku mengkambinghitamkan seseorang dan menjadikan seolah aku korban. Aku jauh lebih buruk dibandingkan Halayudha maupun yang selalu aku jadikan kambing hitam, Moza.
Halayudha mampu mengakui kesalahannya. Moza, walaupun salah tak pernah melemparkan kesalahannya pada orang lain—hanya curang tanpa melibatkan orang kedua, untuk curang ia tak pernah melibatkan siapapun.
Sedangkan aku?
Aku adalah manusia bertopeng itu sendiri, aku adalah pengecut itu, aku adalah manusia hina itu. Dalam kisah ini, sesungguhnya tokoh yang paling hina adalah diriku, manusia yang sok tersakiti dan menghalalkan berbagai cara, membenarkan banyak hal, memposisikan diri seolah korban, agar aku terlihat selalu benar. Perbuatan yang amat sangat menjijikkan!
Setelah isakan yang entah keberapa kali, aku menarik napas dalam-dalam. Aku harus kembali dan meminta maaf. Aku tidak bisa berbuat apapun selain minta maaf. Hanya maaf.
Aku menatap lamat-lamat jarak antara dua pohon kembar. Aku kian mendekat. Jarak kami tinggal satu hasta. Tanganku terulur, mencoba menyentuh dinding itu. Tembus. Benar-benar tembus. Dinding tak kasat mata yang selama ini menghalangiku sirna. Aku telah terverifikasi. Aku tersenyum. Air mataku kembali mengalir.
Aku menoleh kebelakang sesaat. Jujur dalam lubuk hatiku yang paling dalam aku mengharap Jayanegara tiba-tiba muncul dari sana, mengungkapkan segalanya. Bukan karena aku ingin membalas cintanya, aku ingin bicara padanya secara langsung agar ia tak hidup dalam kebohongan. Setidaknya ia bisa membenciku melalui kebenaran dari mulutku sendiri.
Detik merajut menit. Tak ada pergerakan apapun di sana. Hanya lorong gelap gulita. Aku hanya bisa berdoa semoga Jayanegara tak kalap dengan emosinya nanti.
Aku menghela napas. Terima kasih Tuhan atas perjalanan menakjubkan ini. Terima kasih.
Selamat tinggal, Majapahit.
Kini waktuku menjelajah di tanahmu telah usai.Waktunya pergi.
Aku merapal nama Tuhanku dengan khusyuk. Meminta pertolongan, petunjuk serta perlindungan darinya. Pelan-pelan aku masuk ke dalam portal itu. Pintu tempatku masuk menghilang. Hanya ada gelap di mana-mana. Rasanya aku seperti berada di dalam lift.
Beberapa saat kemudian cahaya terang muncul. Perlahan membesar hingga setinggi tubuhku. Aku keluar dari sana. Tiba-tiba air memenuhi ruang. Aku gelagapan.
Selain tak bisa berenang aku juga tak mengira akan masuk ke dalam air. Sebuah tangan tetiba melingkar di pinggangku lantas menarikku keluar dari air. Walaupun pandanganku tak jelas, aku masih bisa mengenali sosok itu dengan jelas. Rambutnya yang basah, hidungnya yang mancung, serta suaranya yang memanggil-manggilku begitu aku kenali.
"Bangun, Mit!"
Dengan pandangan yang mulai menggelap aku menghela napas bahagia sekaligus lega. Aku telah kembali ke duniaku, abadku, rumahku, 2021-ku. Urung aku menyapa pemilik wajah yang begitu aku rindui, pandanganku lebih dulu menggelap sempurna, beserta indera pendengaranku yang langsung tak berfungsi. Gelap dan hening.
Bersambung ...
KAMU SEDANG MEMBACA
Bukan Anjangsana (MAJAPAHIT)
Historical Fiction"Baik dan buruk adalah kerelatifitasan, sedangkan benar dan salah adalah kemutlakan." Gadis melankolis tercebur ke abad 14, di mana kerajaan Majapahit masih nampak kerdil, dipimpin oleh Raja yang menyandang ejekan lemah lagi jahat. Bersamanya kita...