Beberapa menit berlalu, Jayanegara telah menantiku di depan rumah Mada akhirnya berdiri menyambut kedatanganku setelah bersiap.
Jayanegara juga telah berganti kostum, lihatlah ia tak lagi mengenakan kageman istana. Ia hanya mengenakan pakaian sederhana layaknya rakyat biasa dengan destar merah hati melilit kepalanya.
"Kita bisa memulai perjalanannya?"
Aku mengangguk, "Iya."
Jayanegara memimpin perjalanan, kami berangkat tanpa kendaraan ataupun prajurit. Katanya agar tidak ada yang mengenali dia sebagai raja. Jayanegara tidak suka melihat wajah-wajah penjilat ketika ia ingin benar-benar menghabiskan waktu layaknya manusia biasa.
Aku agak gamang mendengarnya. Bukankah yang disekitarnya selama ini adalah penjilat? Jujur saja, aku masih belum mengerti mengapa sejarah memberikan ejekan Kalagemet pada pemuda di depanku ini.
Ia lemah, mungkin. Tapi itu manusiawi. Ia tak selemah itu. Dia jahat? Jahat dari mana? Suka mempermainkan wanita? Wanita dari mana? Sejauh ini, aku tidak melihat Jayanegara berinteraksi dengan wanita lain.
"Kau memikirkan apa, Ashmita?" Jayanegara menoleh, menatapku dengan bola mata sayunya. Kulitnya yang kuning langsat berkilau ditimpa sinar matahari pagi.
Aku menggeleng.
Kami melintasi pemukiman penduduk, melihat aktivitas penduduk pagi hari yang sedang bersih-bersih rumah, ada yang dapurnya mengepulkan asap, ada pula anak kecil yang lari kesana-kemari bermain. Satu-dua dari mereka menatap kami sekejap sebelum kembali pada aktivitas masing-masing.
Tanpa terasa kami sudah berada di ujung desa, rumah-rumah nampak kian jarang, hanya ada pohon-pohon menjulang dan beberapa kambing yang diangon di sana, kambing-kambing itu mengembik nyaring saat melihat kami melintasi, membuatku teringat pada Pengembala itu. Apa kabar dia, apakah kambingnya telah di gulai?
"Kau mentertawakan apa, Ashmita?"
Eh. Buru-buru aku menggeleng. Bukan hal yang penting dan sama sekali tidak penting.
"Kamu pernah ke pasar Kotaraja?"
Aku menggeleng. "Belum sempat."
"Maka sekarang sempat. Mari." Belum sempat aku mengiyakan, Jayanegara telah menarik tanganku lebih dulu, membuat kami berlari kecil menjauhi kebonan.
Letak pasar ternyata tidak sejauh perkiraanku. Setelah melewati kebonan, ada beberapa petak ladang penduduk, tak seluas di area grojogan mamang, bahkan boleh dibilang setiap ladang dipisahkan oleh bangunan rumah yang sudah permanen.
Perlahan-lahan cepat atau lambat ladang ini akan terkikis dan menjadi pemukiman penduduk seluruhnya, menjadi kampung.
Matahari sudah terasa terik, aku memperkirakan ini jam sepuluh pagi. Aku mendongak menatap langit biru dengan gumpalan awan putih bersih. Satu-dua burung nampak melintas di atas sana.
"Ada apa, Ashmita? Kenapa kau berhenti? Apa kau kepanasan?"
Aku tersenyum. "Tidak. Lihatlah langit nampak indah hari ini." Aku masih menatap langit.
Jayanegara mendongak, ikut melihat langit. "Perasaan begitulah langit. Biasa saja."
Aku mengangkat bahu, tak mengindahkan jawaban Jayanegara. Langit indah bagiku karena aku menyukai langit.
"Aku mengajakmu jauh-jauh bukan untuk melihat langit dibawah panasnya matahari." Jayanegara kembali meraih tanganku, mengandeng. Aku tak memberontak, tetap berjalan dengan mata yang sesekali melihat ke atas.
Eh?
Aku nyaris terjungkal karena sibuk melihat langit, di sisiku Jayanegara bersungut-sungut, mengomel. Berkali-kali dia mengatakan padaku untuk berhenti melihat langit dan lihatlah ke depan atau aku akan jatuh. Ternyata benar, aku terjungkal dan nyaris jatuh ke parit jika Jayanegara tidak menahanku. Sepanjang jalan aku hanya menyembunyikan wajah merahku menahan malu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bukan Anjangsana (MAJAPAHIT)
Fiksi Sejarah"Baik dan buruk adalah kerelatifitasan, sedangkan benar dan salah adalah kemutlakan." Gadis melankolis tercebur ke abad 14, di mana kerajaan Majapahit masih nampak kerdil, dipimpin oleh Raja yang menyandang ejekan lemah lagi jahat. Bersamanya kita...