Aku memang sedikit—bukan sedikit tapi amat sangat—keterlaluan, tapi aku tidak memiliki jalan lain. Dengan terpaksa aku mengeluarkan bunga terompet yang aku ambil di jalan pulang tadi, mengerusnya hingga benar-benar lembut, mencampurnya dengan sedikit air, lantas meneteskan sari bunga itu pada minuman rempah yang akan aku sajikan pada Mada yang tengah menikmati lezatnya gulai kambing di ruang tamu.Hanya satu tetes dan tanganku bergetar hebat saat melakukannya. Aroma dan rasa pahitnya pasti akan tertutupi oleh rempah-rempah. Hanya saja ...
Aku menguatkan tekad. Ini bukan apa-apa. Satu tetes tak akan membuat Mada merenggang nyawa.
Aku mengaduknya, menghirup kuat-kuat. Sama sekali tak mencurigakan.
Aku hanya mengunakan sedikit bunga terompet semoga ini berkesan dan tak mematikan atau aku akan benar-benar menjadi pembunuh.
Aku tak bermaksud untuk menyakiti Mada, aku hanya ingin Mada kehilangan kesadarannya sebentar saja, paling tidak sampai aku keluar dari kedaton. Jika Mada tetap sadar ia akan terus menghalangiku.
Jika begitu, bagaimana bisa aku memastikan portal itu. Aku akan terjebak di sini dan sama saja, kehancuran sejarah itu tetap akan terjadi jika demikian.
Ini semua aku lakukan, semata-mata karena aku kehabisan pilihan. Aku telah memintanya baik-baik, dia menolakku dengan berbagai alasan. Akan menggertaknya, dia menahanku terang-terangan
"Kau marah padaku?" tanya Mada setelah meneguk minuman rempah istimewa itu.
Aku sempat cemas, tapi melihat reaksinya yang masih baik-baik saja membuatku bingung. Harus senang atau khawatir.
"Kau pikir? Entah kenapa aku merasa kau tak ingin aku kembali Mada."
Mada tersenyum. "Bukan seperti itu Ashmita. Tapi aku tidak bisa membiarkanmu pergi malam-malam begini, lagipula sebentar lagi aku ada latihan."
Aku meliriknya sekilas, latihan katanya. Aku di sana tak lebih dari satu jam. Apa susahnya izin terlambat sebentar?
Toh, bukannya tempo hari dia telah berjanji untuk mengantarku apapun keadaannya?Kemana janjinya?
Tyar!
Cangkir terlepas dari tangan Mada, aku terhenyak bercampur cemas. Aku segera menghampiri Mada. Bagaimana ini, racun itu telah berkerja. Bagaimana kalau ... aih, aku menyesali perbuatanku.
"Mada, apa kau baik-baik saja?"
Bodoh! Tentu saja tidak, lihat saja kondisinya.
"Kepalaku tiba-tiba sakit, Ashmita. Mataku berkunang-kunang," ujar Mada lemah.
"Sebentar aku ambilkan air. Kau jangan tutup matamu!" Aku bergegas mengambil air di meja makan, lalu kembali ke Mada.
Melihat Mada yang telah tak sadarkan diri aku lepaskan gelas di tanganku. Menghampirinya. Menghentakkan tubuhnya. Dadanya masih bersuara, perutnya bergerak naik-turun, napasnya juga masih ada.
Oh Ashmita, apa yang kau lakukan?
Aku berlari menuju puri, mencari tabib istana. Mada perlu di sembuhkan. Ia harus sadar. Aku memang bodoh! Kenapa aku harus bermain nyawa. Jika sampai ada apa-apa dengan Mada, aku akan membenciku diriku sepanjang hidupku!
Akhirnya aku sampai di rumah Tabib. Napasku menderu. "Kangmas ... Tabib ... pingsan. Matanya pusing, kepalanya berpendar-pendar." Aih apa pula ini mulutku, kenapa kalimatku acakadul gini?
"Di mana dia?"
Syukurlah Tabib mengerti maksudku. "Di rumah."
Kami bergegas segera, membelah malam di kedaton. Satu-dua prajurit menatap kami penasaran, yang lain juga banyak bertanya tapi tak ada waktu.
Sesampainya di rumah Mada, Tabib istana mulai memeriksa Mada yang masih tak sadarkan diri. Teman Mada yang menyusul membantu membaringkan Mada di kamar.
"Mada baik-baik saja. Untunglah racun itu hanya sedikit dan berhasil di keluarkan sebelum menjalar lebih dalam," tutur Tabib.
Aku menghela napas lega.
"Racun?" Teman Mada menyahut.
"Iya. Dari pemeriksaanku sepertinya itu racun alami. Tapi meskipun begitu itu sangat mematikan. Andai racun itu sedikit lebih banyak mungkin Mada bisa halusinasi jika tidak seperti itu maka dia akan tiada.
"Nanti setelah siuman berikan air kelapa muda untuk menetralkan racun di dalam tubuhnya. Saya permisi."
"Baik. Terima kasih banyak Tabib," ucapku.
Tabib itu melangkah pergi dari rumah Mada. Aku kini menatap Mada, seketika kakiku melemas dan tersungkur di lantai. Mada seperti ini karenaku. Apa yang akan dia pikirkan nanti?
"Bedebah! Siapa yang berani meracuni bekel bhayangkara, hah?!" umpat teman Mada tiba-tiba dengan emosi yang menggebu-gebu.
"Ashmita, terkahir kali sebelum pingsan Mada menelan apa?"
"Minuman rempah yang aku buat." Aku menyeka air mataku.
Teman Mada pergi ke ruang tamu.
Apakah sekarang aku harus ke grojogan? Jika aku pergi, maka aku orang jahat. Jika aku tidak pergi semua ini akan sia-sia.Aku menghela napas panjang. Baiklah aku tidak akan pergi. Persetan dengan portal itu!
"Aku akan pergi mengambil kelapa muda di gardu. Kamu jaga Mada, ya?"
Aku mengangguk.
Malam ini aku menyadari betapa bodohnya aku. Harusnya aku berpikir dua kali sebelum melakukan hal berbahaya seperti ini. Selalu ada cara dalam setiap hal, termasuk ini. Harusnya aku mengabaikan ide bodoh itu. Harusnya!
Aku kembali terisak di sisi Mada.
Tiba-tiba tangan Mada bergerak, aku menghentikan tangisan. Segera memanggil namanya agar segera bangun.
Perlahan matanya bergerak-gerak, kelopak matanya terangkat, menunjukkan kedua bola mata tajamnya itu. Aku menghela napas dengan begitu lega. Tanpa ba-bi-bu, aku segera mendekap Mada yang masih separuh sadar. Aku terisak di atas dadanya.
"Ashmita, ada apa?" tanyanya dengan nada yang lemah sekaligus bingung.
Aku mengangkat kepala. "Aku sudah bilang padamu, jangan tutup mata. Jangan tutup mata! Tapi kenapa kau menutup matamu, hah?!" aku berseru kesal sembari menghapus air mataku. Mada tersenyum, tangannya terulur ke pipiku, ikut menghapusnya.
"Maaf telah melanggar ucapanku, maaf sudah membuatmu menangis."
"Maafkan aku, Mada," lirihku dalam isak.
Beberapa saat kemudian teman Mada kembali dengan satu butir kelapa hijau yang telah terbuka di ujungnya. Ia bersiap membantu Mada untuk meneguknya, tapi urung.
"Ashmita, bisa tolong ambilkan gelas," pinta teman Mada.
Tanpa menunggu perintah dua kali, aku segera bergegas mengambil gelas di dapur dan segera kembali. Tetapi langkahku seketika terhenti saat mendengar Mada dan temannya berbincang dengan nada pelan.
"Aku bisa meminumnya tanpa gelas, kenapa kau harus menyusahkan Ashmita?" omel Mada.
"Apa kau habis memakan bunga terompet?"
"Apa kau kira aku bosan hidup? Atau kau pikir aku bebal sampai memakan bunga beracun itu?"
"Tapi pada kenyataannya kau keracunan bunga itu."
"Maksudmu?"
"Tabib bilang seperti itu. Aku juga melihat lembaran kecil bunga terompet itu di gelas minuman rempahmu yang pecah dan tercecer di lantai.
"Aku tak bermaksud menuduh Ashmita telah meracunimu tapi, jika dia ingin membunuhmu kenapa dia menyelamatkanmu.
"Tadi dia berlari memangil Tabib seperti orang kesetanan, lalu melihatmu terbaring ia begitu tersiksa. Siapapun yang melihatnya menangis pasti akan iba. Bahkan jika dia bersandiwara, maka dia adalah aktor paling hebat sepanjang masa."
Aku tak kuat lagi mendengar opini teman Mada. Aku memutuskan segera menyerahkan gelas dan pergi dari sana. Mada dan temannya nampak terkejut, tapi aku mencoba sekeras mungkin untuk menunjukkan senyum. Aku tahu itu senyum yang buruk dan aku sadar jika senyum itu tak berguna. Tak apa. Setidaknya aku mencoba baik-baik saja.
Bersambung ...
KAMU SEDANG MEMBACA
Bukan Anjangsana (MAJAPAHIT)
Fiksi Sejarah"Baik dan buruk adalah kerelatifitasan, sedangkan benar dan salah adalah kemutlakan." Gadis melankolis tercebur ke abad 14, di mana kerajaan Majapahit masih nampak kerdil, dipimpin oleh Raja yang menyandang ejekan lemah lagi jahat. Bersamanya kita...