20

1.1K 185 3
                                    

Di beranda rumah Nyi Laksmi.
Desiran angin malam menemani sunyinya malam ini. Belum terlalu larut, kira-kira masih pukul tujuh malam. Aku menyandarkan tubuh pada dinding kayu. Melemaskan badan.

Hari ini begitu banyak yang terjadi, malah terlalu banyak. Air mataku bahkan belum bisa mengering. Aroma amis dan percikan darah Dharmo terus kurasakan.

Dharmaputra keterlaluan!

Jika mereka memiliki masalah dengan Jayanegara kenapa harus melibatkan banyak orang?

Dan Jayanegara itu ...

Argh! Kenapa menjadi sedemikian rumit?

Kesiur angin membuat hatiku bedesis ngilu. Bagaimana caranya aku bisa memaafkan diriku sendiri? Memaafkan orang-orang itu? Bagaimana caranya?

Aku ber-puh pelan, memutar ulang kejadian di rumah Kepala Desa beberapa saat lalu.

***

Keadaan di rumah Kepala Desa benar-benar penuh duka. Tak ada satupun yang bisa tersenyum. Tentu saja, setelah kekacauan besar seperti itu, memang siapa yang akan tersenyum?

"Lebih baik kau membersihkan diri. Ganti pakaianmu dengan yang bersih," Mada berkata padaku seraya mengulurkan kardigan itu.

Aku bergeming, menatapnya saja enggan. Aku kesal padanya.

Mada melingkarkan kardigan itu di bahuku. "Kau terlihat lebih baik saat mengenakan ini."

"Kenapa, Mada?" Aku menatapnya lekat-lekat.

"Kenapa kau melakukan ini semua?"

"Apa yang aku lakukan, Ashmita?" Wajahnya nampak gusar. Ia langsung duduk di undakan rumah Kepala Desa. Napasnya terdengar kasar. "Aku sudah melakukan hal semampuku untuk menumpas pemberontakan ini dalam sunyi, aku berusaha agar kabar ini tak keluar istana apalagi melibatkan rakyat. Tapi aku gagal. Semua menjadi kacau balau."

Aku diam. Perasaan lain kembali bersemi, rasa bersalah dan curiga mulai menyiksaku.

Tanpa mengetahui apa yang terjadi sebenarnya, aku memutuskan untuk menanam rasa benci, mungkin kebenarannya adalah yang selama ini aku duga.

Bisa saja ini dusta baru untuk menutupi dusta yang lain.

"Ra Kuti dan Dharmaputra yang lain sudah berhasil menguasai istana hingga ibu kota. Mereka juga ingin membunuh Maharaja. Membumi hanguskan satu-satunya putra wangsa Rajasa yang tersisa." Mada menggantungkan kalimatnya. "Aku terpaksa membawa Maharaja dan seluruh anggota kerajaan kemari." Ia menatapku. Wajahnya begitu meyakinkan, persis seperti sebelumnya.

Bisakah aku mempercayaimu, Mada?

Dari dalam terdengar suara gaduh-gaduh, namun bukan sesuatu yang serius. Aku kembali ke percakapanku dengan Mada.

"Kau tenang saja, kawan-kawan bhayangkara yang lain sedang kemari dengan jasad Dharmo. Dia tetap akan disemayamkan dengan layak."

Lengang.

"Bisakah aku mempercayaimu, Mada?" Akhirnya, setelah berpikir keras, kalimat itu mampu aku ucapkan.

Mada menatapku, tanpa berkedip. Kedua alisnya tertaut, sebelum senyum getir terbit di wajahnya. "Seharusnya aku mengerti itu sedari awal. Kau meragukanku, meragukan tindakanku, dan meragukan segalanya perihalku.

"Tapi dengan tegas aku katakan padamu, aku tidak berbohong. Demi apapun, demi Sang Kuasa dan segala keagungannya, aku tidak berbohong. Pemberontakan itu benar-benar ada."

Beranda rumah Kepala Desa Lengang.

Kini aku merasa menjadi manusia paling hina, tak tahu terima kasih. Setelah diselamatkan, setelah ditolong, lihatlah apa yang aku lakukan sebagai balasan.

Bukan Anjangsana (MAJAPAHIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang