Aku sudah satu minggu di rumah Nyi Laksmi. Mada tak kunjung kembali, atau sekedar menjengukku. Tak ada kabar darinya. Seolah semuanya telah berakhir begitu saja. Badander masih termasuk wilayah Majapahit, namun di sini tak ada berita pergolakan apapun. Semuanya senyap.
Selama satu minggu ini, rutinitasku hanya membantu Nyi Laksmi mengurus rumah. Sesekali pergi ke pasar membeli bahan masakan, sembari terus berpikir bagaimana aku bisa menemukan cara untuk kembali ke 2021—mengira kondisi kerajaan sudah baik-baik saja, dan rasanya tak pernah terjadi siasat jahat itu.
Aku tak pernah membaca literatur apapun mengenai perjalanan waktu, melintasi dimensi dan semacamnya. Aku hanya melihat itu dari film Spongebob—itu pun ada alatnya—dan fiksi sejarah dalam novel yang sungguh-sungguh jelas itu sekedar imajinasi.
Bruak!
Seseorang menabrakku. Membuat semua barang belanjaan yang aku beli jatuh berceceran. Tanpa mengucapkan sepatah kata pun, orang itu lari begitu saja. Aku menghela napas kasar, lalu memunguti barang-barang yang telah jatuh.
Untunglah ini hanya rempah-rempah pendem, jadi aku tak harus kembali ke pasar dan mengeluarkan uang untuk kedua kalinya.
Sebuah tangan tetiba turut membantuku. Aku menatap sang empunya. Rashmi, putri bungsu Nyi Laksmi.
"Maaf, Ashmita. Aku tak sengaja." Rashmi kembali untuk membantuku.
"Memangnya kamu akan kemana? Buru-buru sekali." Acara pungut-memungut selesai. Kami berdiri.
"Mencari Kangmas Dharmo. Kau tahu?"
Aku menggeleng. Dharmo adalah pemuda dua puluh tahun, putra sulung Nyi Laksmi.
"Sudah kamu cari di pabrik?"
Nyi Laksmi adalah janda kaya di desa Badander ini. Ia memiliki satu pabrik gerabah yang cukup besar dengan karyawan yang cukup banyak. Gerabah-gerabah itu bahkan dikirim hingga ke kerajaan lain. Pabrik gerabah Nyi Laksmi termasuk pemasok gerabah terbesar dari Majapahit.
Rashmi menggeleng. "Aku sudah mencarinya di mana-mana, tapi tidak nampak batang hidungnya. Dasar ingkar janji!" gerutu Rashmi.
Dia terus saja menggerutu hingga sampai di rumah, abai pada penduduk yang menyapa kami. Mereka mengenalku sebagai kemenakan jauh Nyi Laksmi, adik Mada.
Rashmi adalah gadis usia enam belas, terpaut dua tahun dariku. Namun jika dilihat Rashmi nampak lebih dewasa dari pada aku. Bukan karena aku lebih muda dari usiaku, tapi karena perkembangan fisik manusia pada zaman ini seperti itu, belum terkontaminasi oleh bahan kimia, masih berproses dengan alami, cara kerja alam masih memiliki kesan yang kuat.
"Kenapa itu, Nduk?" tanya Nyi Laksmi setibanya kami di rumah. Rashmi dengan wajah cemberutnya langsung masuk ke dalam rumah.
Aku menghampiri Nyi Laksmi yang sedang membersihkan beras. "Mencari Kang Dharmo, tapi tidak ketemu."
Nyi Laksmi tertawa. "Owalah, bocah-bocah itu."
Aku tersenyum.
Dharmo memang pemuda yang cukup jahil. Dia jahil pada siapapun. Setiap hari pasti ada saja orang yang menjadi korban kejahilannya. Sedangkan Rashmi adalah target tetap.
***
"Mada begitu berjasa bagi kami. Jika Mada tidak datang waktu itu, mungkin kami sekeluarga sudah hangus terbakar," ucap Nyi Laksmi suatu ketika saat mengenang pertama kali mengenal Mada.
Malam itu, di malam yang begitu pekat, Mada—seorang pengembara—datang sebagai seorang pahlawan dalam keluarga Nyi Laksmi. Menyelamatkan seluruh keluarga dari jago merah. Mada bahkan sempat tinggal beberapa minggu di sini, sebelum berangkat ke Majapahit menjadi prajurit.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bukan Anjangsana (MAJAPAHIT)
Ficção Histórica"Baik dan buruk adalah kerelatifitasan, sedangkan benar dan salah adalah kemutlakan." Gadis melankolis tercebur ke abad 14, di mana kerajaan Majapahit masih nampak kerdil, dipimpin oleh Raja yang menyandang ejekan lemah lagi jahat. Bersamanya kita...