34

875 153 0
                                    

Mada menggandengku, memasuki ruang makan istana. Tak ada yang berubah dari tempat itu. Semua masih sama seperti terakhir kali aku ke sana, yang berbeda hanyalah meja dan kursi makam disingkirkan.

Dua puluh lima anggota bhayangkara dengan seluruh anggota keluarga kerajaan duduk lesehan dengan makanan yang tersaji lengkap di sana. Semua menyambut kami dengan senyuman ramah. Menyilahkan kami untuk duduk.

Aku dan Mada duduk bersisihan di tempat yang masih tersisa. Senyuman Jayanegara nampak begitu ganjil, begitupun dengan Ratu Indreswari.

Pemikiran yang beberapa hari terakhir terlupa kini kembali mencuak di akalku. Aku meneguk paksa salivaku. Mataku menatap Ratu Gayatri. Ia seperti biasa, tersenyum anggun penuh wibawa.

"Silahkan makan semua," Jayanegara membuka acara. Ku kira akan ada pembahasan panjang atau apalah namanya, tapi ternyata sesingkat itu.

"Kalian lama sekali," bisik salah satu prajurit bhayangkara yang sempat aku buat terjengkang itu, "aku sampai mau dijemput malaikat maut gara-gara kelaparan."

"Tidak apa. Kami bersedia menebar abumu," timpal seseorang disebelahnya.

"Wedus!" umpat prajurit bhayangkara itu.
Kami tertawa pelan.

Tanpa aku sadari, dari sudut mataku aku melihat bahwa Jayanegara sedari tadi mengamatiku. Membuat senyumku langsung sirna dan ragu-ragu mengambil makanan yang telah tersaji di piring. Perasaanku sungguh tak enak.

"Mada mengatakan, kau akan kembali ke desamu?" Ratu Tribuaneswari membuka percakapan.

Aku mengangguk takdzim. "Iya, Gusti Ratu."

"Mengapa?" Kini Jayanegara yang menyahut. Wajahnya terlihat keberatan.

"Pusara kedua orang tuaku ada di sana. Kenang-kenangan mereka bersamaku ada di sana. Aku tak bisa meninggalkan itu semua."

"Kau di sana sendiri?" Kini Ratu Indreswari yang bertanya.

Aku menggeleng. "Ada banyak yang bersamaku di sana. Selain kenangan, ada banyak tetangga yang baik. Buktinya aku masih bisa hidup meskipun ditinggalkan Kangmas Mada bertahun-tahun." Aku tertawa, mencoba membuat lelucon. Beberapa tertawa pelan, yang lain—Jayanegara—mendegus sebal. Aku tahu tapi aku mencoba tidak menyadarinya.

Makan malam tetap berlanjut semestinya—tak peduli dengan hati Jayanegara yang sedang kesal bercampur sedih—dan berakhir dengan baik-baik saja. Bahkan satu-dua aku tertawa karena melihat tingkah prajurit bhayangkara.

Beberapa puluh menit kemudian makan malam selesai. Para hadirin mulai meninggalkan tempat.

"Ashmita, aku ingin bicara," sergah Jayanegara saat aku ingin beranjak. Mada tersenyum simpul padaku sebelum beranjak.

Aku menelan ludah. Oh Ibu, kuharap itu bukan perihal perasannya.

"Apa benar kau ingin pulang?"

Aku mengangguk.

"Andai aku memintamu tetap di sini, apakah kau akan tetap di sini?"

Aku menggeleng. Tentu saja tidak. Jayanegara tak memiliki hak untuk membuatku menetap di sini.

"Kapan kau akan pulang?"

"Secepatnya."

Jayanegara tersenyum. "Hati-hati."

Aku mengangguk patah-patah, sembari melihat punggung Jayanegara yang menjauh. Semudah itu? Ia bahkan belum mendiskusikan hal itu secara terang-terangan padaku.

Aku kembali ke rumah Mada dengan pikiran melayang kepada Jayanegara. Apakah semudah itu cinta meluap? Jika iya, maka itu bukan cinta. Akhirnya aku bisa menghela napas lega. Sejak awal aku takut Jayanegara salah mengartikan sikapku, tapi sekarang aku sudah tidak perlu mencemaskan perasaan Jayanegara itu.

Belum sempurna aku masuk ke dalam rumah, Mada telah bersiap untuk pergi kembali.

"Mau kemana?" tanyaku heran.

"Ada beberapa desa yang perlu diurus pasca pemberontakan. Aku diminta Maharaja menghadap."

Aku mengangguk.

"Aku pergi dulu."

"Iya."

Aku menatap kepergian Mada dengan sebuah ide. Itu hal yang baik. Aku bisa kembali ke grojogan tanpa sepengetahuan Mada. Setidaknya dia tidak akan mencemaskanku jika tahu malam-malam seperti ini aku justru ke grojogan.

Bagaimanapun juga aku harus memastikan portal itu. Sekali itu nyata, maka kesempatannku kembali lebih cepat.

Aku menutup pintu, bergegas pergi. Melintasi gerbang utama kedaton dengan mudah, tak ada yang menjaga. Ini baik untukku, dan akan berakibat fatal jika salah seorang punggawa istana melihat. Bisa-bisa, pengawal yang bertugas akan di pecat saat itu juga. Tapi aku keliru, entah dari mana teman bhayangkara Mada yang sempat aku buat terjerembab muncul di depanku. Tersenyum ramah. Aku meringis dalam hati.

"Mau kemana?"

"Eh, aku ... aku ..."

"Kami sangat sedih kau akan pulang." Raut teman Mada yang notabenenya sama sekali tidak seram, dengan tampilan sedihnya terlihat mengenaskan.

Aku menggaruk kepalaku yang tak gatal. Kikuk ingin menjawab apa. Jika aku berterus terang maka sama saja, aku tidak bisa pergi.

"Ashmita, kau di sini?" Sontak aku menoleh ke belakang. Melihat Mada dan Jayanegara di sana, membuatku mengeluarkan puh pelan dan mengatakan sampai jumpa pada grojogan.

Mada sudah melihatku di gapura kedaton, malam ini rencanaku ke grojogan untuk membuktikan portal gagal.

Bersambung ...

Bukan Anjangsana (MAJAPAHIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang