Hai, harusnya, sih, update kemaren, tapi moodnya lagi ngga bagus jadi ngga revisian, maaf, yaa... Wkwk. Emang authornya agak moody.
Semoga suka sama part ini!
-
08.00
Setelah mengantar Kaila ke sekolah, saat ini Bian dan Nara tengah menuju ke sebuah café untuk bertemu dengan Dinda. Entah akan bagaimana dan entah akan secanggung apa nantinya, Nara mencoba untuk menenangkan diri. Dia yakin jika semuanya akan baik-baik saja. Dinda hanya mantan istri dari suaminya, tidak lebih.
Perjalanan menuju Ilana café hanya memakan waktu sekitar sepuluh menit dari sekolah Kaila. Bian sengaja mengambil waktu pagi karena pukul 10 siang nanti dia harus sudah berada di kantor untuk meeting seperti biasa.
Dinda sudah mengirimnya pesan jika dia sudah sampai terlebih dahulu dan menunggu di lantai dua meja nomor 18.
-
Ilana Café
Bian pun membukakan pintu mobil untuk Nara. Lalu mereka berjalan menuju pintu utama café tersebut. Setelah mendapat petunjuk dari seorang pelayan, Bian dan Nara berjalan menuju lantai dua dengan meja yang sudah ditunjukkan oleh Dinda tadi lewat pesan.
Mata Bian pun mengitari sekitar dan menemukan seorang perempuan yang tengah duduk memainkan ponselnya yang Bian yakin itu adalah Dinda. Dengan langkah gontai dengan sebelumnya mengeratkan pegangan tangannya, Bian berjalan menuju meja nomor delapan belas itu.
"Nunggu lama, ya?" sapa Bian mengawali percakapan.
Berbeda dengan Nara yang sudah canggung setengah mati. Entah harus dari sisi mana dia akan memulai percakapan. Padahal, perempuan yang berada di depannya kali ini juga terlihat biasa saja.
Dinda yang tengah memainkan ponselnya pun terlonjak karena kehadiran Bian dan Nara. "Eh, engga, kok. Duduk dulu, aku udah pesenin minum nanti kalau sekiranya ngga suka boleh ganti aja," ujar Dinda.
Bian dan Nara pun duduk bersebelahan. Bian yang menyadari Nara hanya diam pun mencoba memberi ketenangan dengan menatapnya. Tatapan itu seolah mengartikan bahwa semuanya baik-baik saja. Tidak ada yang perlu ditakutkan.
"Gimana kabarnya?" tanya Dinda dengan pandangan mata ke arah Nara.
Nara hanya mengangguk. "Baik, Mba Dinda sendiri gimana?" tanya Nara mencoba menetralisir kecanggungannya.
"Baik juga," jawab Dinda. "Btw, selamat, ya, atas kehamilannya. Lancar-lancar sampai persalinan nanti," lanjutnya.
"Aamiin,"
Bian hanya diam melihat dua perempuan yang berada di sebelah kiri dan di depannya. Sungguh seperti sebuah cerita jenaka. Perempuan yang pernah dicintainya dan perempuan yang sedang dicintainya berada dalam satu meja yang sama. Dan dia? Hanya seperti patung. Berdiam diri karena sejujurnya tidak tahu harus melakukan apa.
"Langung aja kali, ya, soalnya saya jam 10 ada meeting," kata Bian sambil meminum kopi hitam yang dipesankan oleh Dinda.
Nara tertegun. Sedikit banyak pasti Dinda masih hapal tentang makanan dan minuman kesukaan suaminya itu. Pesanannya tidak meleset barang sedikit pun. Kopi hitam dengan sedikit gula. Namun, Nara memilih untuk tidak memikirkan itu. Nara mencoba untuk menenangkan diri untuk tidak bereaksi apapun, walau sebenarnya dengan hal sekecil itu Nara merasakan cemburu. Lagi dan lagi.
"Jadi, kemarin aku udah sempet tanya-tanya ke sahabatku tentang dekorasi ulang tahun anak. Kalau misalnya mau sekalian sama hadiah katanya boleh, sih, tinggal kita request aja mau apa," jelas Dinda.
KAMU SEDANG MEMBACA
Amerta - [SELESAI]
ChickLit"Amerta. Amerta itu tidak dapat mati, abadi. Aku berharap cintaku dan cinta Mas Bian juga demikian. Walau umur kami sudah habis, namun perasaan kita berdua bisa selayaknya amerta, yang tidak dapat mati." -Nara Menikah dengan sedikit rasa cinta. Buka...