Aku mengambil langkah seribu. Atau lebih tepatnya berlari dengan kekuatan terbesarku saat ini.
Lalu tepat di depan ruangannya, aku berhenti. Tidak mengetuk pintu atau langsung masuk tanpa izin seperti biasa.
Aku takut kalau gosip yang aku dengar benar. Kalau dia akan pergi...
Tanpa sadar, tiba-tiba pintu sudah terbuka, dan disanalah ia. Laki-laki yang membuatku percaya bahwa semua orang pantas untuk bahagia. Termasuk, aku.
"Kok gamasuk?" Ucapnya.
Aku menatapnya yang bertingkah seolah tidak ada apa-apa. Aku mau menangis.
"Bener kamu mau move ke Boston?" Ucapku to the point.
Ia tampak terkejut, namun dengan segera ia tutupi. Apa itu benar?
Menghela nafas, ia menggandengku untuk masuk ke dalam ruangannya. "Masuk dulu, gaenak ngobrol disini."
Aku menurutinya, seperti biasa. Aku bukan orang yang penurut sebelumnya, apalagi dengan laki-laki bernama Alvero ini. Tapi seiring berjalannya waktu, aku merasa nada suaranya mengandung sesuatu yang membuatku menurutinya. Luna bilang itu nada kasih, aku tertawa saat dia berkata seperti itu. Namun sekarang, walau geli untuk mengakuinya, aku sedikit setuju. Suaranya lembut. Menenangkan.
Tapi bukan itu yang ingin ku bahas sekarang. Aku ingin membahas tentang gosip yang kudengar dari para perawat disini. Bahwa Dokter hebat dan tampan di rumah sakit ini, yaitu Alvero, akan dipindah tugaskan ke Boston, Amerika Serikat.
"Kok kamu ga bilang-bilang aku sih kamu mau dipindah tugasin?!" Ucapku tak sabar dan kesal.
Seperti biasa, Vero tersenyum.
Jangan salah sangka, senyumnya bukan senyum orang baik-baik. Senyumnya mengandung seringaian evil. Membuatku menyukai dan membencinya di waktu yang sama.
"Kenapa? Kamu takut kangen aku, ya?"
Aku mencibir. "You wish. Aku kesel kenapa aku denger dari orang lain, bukannya kamu. Perawat lain pada ngejek aku karena istri kamu sendiri malah gatau apa-apa."
Ia justru cemberut, "Jadi gara-gara itu kamu marah-marah kayak gini? Bukan karena kamu khawatir bakal nggak ketemu aku nantinya?"
"Eh?" Aku menggigiti bibirku. "Yah.. sedikit."
Ia menghela nafas, "Sorry deh, aku tadinya mau ngasih tau kamu, tapi aku masih belum putusin mau ambil kesempatan itu apa enggak sih."
Aku mengerutkan keningku, "Loh? Emangnya bisa buat keputusan sendiri gitu?"
Vero mengangguk. "Bisa. Kata Direktur, 'no pressure'."
Tanpa sadar aku cemberut. "Ih, apa aku bilang! Dia suka sama kamu!"
Alvero, lagi-lagi tertawa setiap aku membahas hal ini. "Ga mungkin, babe. Kamu kenapa bilang gitu terus, sih?" Ucapnya dengan ekspresi jenaka.
Aku merasa pipiku menghangat mendengarnya memanggilku dengan satu kata mematikan itu, babe. Tapi aku menutupinya dengan terus membela diri, "instuisi wanita, Vero. Insting kita tentang hal kayak gini hampir seratus persen bener."
Ia tersenyum jenaka, mendekatiku dan memelukku. "Glad to know that you're jealous."
Aku langsung gelagapan sendiri, salah tingkah. "I- I'm not!"
"Ofcourse you are. Dan biarpun Direktur suka sama aku seperti yang kamu bilang, yang penting aku cuma cinta sama kamu. Its always been you."
Aku tersenyum geli. "Dari novel lagi?" Aku mencibir, "ga kreatif."
Ia melepas pelukannya dan menatapku. "Tapi kamu suka."
Aku tertawa. "Yeah."
Wajahnya secerah langit siang ini, senyumnya membuatnya lebih lengkap lagi. Tapi tiba-tiba dia pura-pura cemberut. "Tapi aku masih ga terima tentang satu hal. Kamu serius ga khawatir kalau aku pergi ke Boston? Kamu ga bakal kangen aku? Kamu ga khawatir aku bakal selingkuh sama bule disana? You know, bule boleh juga."
Aku mencubit lengannya keras, membuatnya merintih kesakitan. "Bule nya juga ga bakal mau sama kamu!"
"Enak aja! Aku gini-gini masih muda, ganteng pula!"
"Tuhkan. Penyakit pede kamu kumat lagi."
Vero cemberut saja masih sambil mengelus-elus lengannya.
Aku tersenyum. "Look, kita bukan orang pacaran lagi. Kamu suami aku sekarang. Aku pasti dukung apapun yang mau kamu lakuin selagi itu hal yang positif.
Dan nggak bilang 'i miss you' bukan berarti aku nggak kangen kamu. Nggak bilang 'i'm afraid of losing you' bukan berarti aku nggak takut kehilangan kamu.
Itu karna aku percaya, Alvero. Aku percaya sebesar apapun space yang kita sendiri atau orang lain buat untuk misahin kita, kalau memang udah takdirnya, kita pasti akan selalu ada di perahu yang sama."
Dengan itu, aku melihatnya tersenyum tenang. Ia mengelus kepalaku lembut. "Makasih." Ucapnya, menatapku dengan tatapan yang -selalu- seolah mematikan semua sarafku. "Makasih karena lahir dan jadi istri seorang Alvero."
Aku tersenyum.
Ia mendekatkan wajahnya kearahku, lalu mengecup dahiku, lembut. Aku menutup mata. Menikmati kebahagiaan ini dengan mata terpejam.
Masih diposisi yang sama, aku bergumam, "Lagian, katanya dokter yang gantiin kamu lebih muda dan ganteng."
Dengan secepat kilat, Vero melepaskan dirinya dan menatapku tidak percaya. "Aku gamau ke Boston!"
Secepat itu juga aku tertawa. Alvero awalnya cemberut, tapi tak urung dia juga ikut tertawa.
Aku nggak tau sebesar apa spasi yang akan kami berdua hadapin nantinya, tapi aku dan Vero percaya, kami hanya perlu menghapusnya. Lalu memulainya lagi bersama.
KAMU SEDANG MEMBACA
Between You And Me
Teen FictionIni tentang aku dan kamu. Tentang sebuah spasi yang ada diantaranya. Tentang pertanyaan, Apakah sebuah spasi dapat menghalangi kita?