Fenny's pov
Aku tercengang menatap pemandangan didepanku. Perempuan itu.....mengenal Nick?
Dan bahkan sebaliknya?
Tapi.... Bukankah ia sedang pergi bersama..... dia?
Sontak aku langsung melihat ke sekeliling. Setengah takut setengah berharap bahwa ia mungkin ada disini. Tubuhku menegang. Aku bahkan tak sempat memikirkan lagi tentang Nick dan perempuan ini yang saling mengenal.
Aku takut. Takut bahwa ternyata dia ada disini. Takut pertahanan yang aku bangun selama ini runtuh kembali. Karena sebenarnya, perasaan itu masih ada walaupun samar-samar. Masih terasa walaupun tak lagi besar.
Namun disisi lain, aku juga berharap. Berharap bahwa ia disini. Karena sebenarnya aku butuh melihat wajahnya. Karena sebenarnya aku butuh mendengar bagaimana kabarnya. Aku butuh untuk mengetahui bagaimana dia tanpa aku.
Aku menggeleng kasar dan merutuk diriku sendiri dalam hati. Merutuk karena kebodohanku untuk berfikir bagaimana keadaannya tanpa aku. Bukankah aku tau bahwa ia akan baik-baik saja? Bukankah seharusnya memang itu yang ia inginkan? Terlepas dariku, bukankah itu yang ia dambakan? Lagi pula, bukankah ia sudah punya Fransisca. Perempuan yang...... yang.....
Aku tak mampu lagi melanjutkannya. Tanpa kusadari, ternyata sedari tadi aku memejamkan mata dan mengepalkan tanganku terlalu kuat sampai buku buku jariku memutih. Dan aku juga menahan nafas. Bibirku perih karena ternyata sedari tadi aku juga menggigitinya tanpa sadar.
Yang menyadarkanku adalah dorongan halus tapi tegas dari Alex dan Luna. Mendorongku untuk masuk ke dalam studio 1, tempat kami menonton.
"Lo sama Luna aja oke? gue nanti mungkin sendiri... kalo emang Nick gajadi." ucap Alex lembut sambil menuntunku.
Aku menggeleng. "enggak. Gue... gue aja yang sendiri." ucapku menekankan setiap kata.
Benar, aku butuh sendiri. Sendirian dalam arti tanpa teman-teman yang memperhatikanku sedang melamun atau bahkan... lebih parah dari itu.
Aku duduk di barisan kedua dari atas. Tempatnya tepat sekali di pojok. Disebelahku, tentu saja kosong. Nick pasti masih mengobrol dengan Fransisca.
Lampu mulai dimatikan dan iklan-iklan berhenti. Film nya sudah mulai tapi pikiranku tetap terdistraksi dengan kejadian barusan.
Berusaha menerka mengapa perempuan itu ada disini. Mengapa ia meninggalkan dia di manapun dia berada saat ini. Mengapa dia tidak ikut kesini. Mengapa-
Mengapa aku masih sangat bodoh untuk terus tertinggal pada masa-masa itu.
Namun tetap saja, aku terus membiarkan diriku sendiri larut lagi dalam masa lalu.
Seketika, pemandangan di studio itu terganti dengan suasana pasar malam yang sesak oleh tawa dan tangis anak kecil yang memghabiskan waktunya bersama keluarganya. Sesak oleh orang-orang yang asik berbelanja dan juga mengantre arena permainan sederhana.
Aku, duduk membelakangi keramaian itu ditempat yang tidak terlalu jauh. Didekat pohon besar dan sedang menunggu seorang laki-laki yang secara tidak sadar telah ku kagumi entah sejak kapan.
Aku dengan balutan baju rajutan Bundaku sendiri yang hangat, duduk dikursi panjang sambil mengayun-ayunkan kakiku ke depan dan ke belakang. Angin mempermainkan rambutku yang berkibar-kibar pelan. Aku masih SMP. Masih terlalu muda untuk benar-benar tau bagaimana rasanya suka. Tapi jauh di dalam lubuk hatiku, aku tau aku sedang merasakannya. Merasakannya pada laki-laki yang sedang aku tunggu.
Aku tersenyum lebar ketika sosok laki-laki berlari kearahku dengan tergesa-gesa dari jalan raya disebelah kananku. Aku bergeser untuk menyediakan tempat baginya untuk duduk.
"S-sorry telat Fen. Aku- aku tadi ada perlu sebentar." ucapnya masih sambil ngos-ngosan.
Aku hanya tersenyum mengetahui kebiasaan telatnya itu. Alasan yang dipakai selalu sama. Ada perlu sebentar. Dan aku dengan bodohnya terus datang lebih awal dari jam perjanjian. Dan terus menunggunya dengan senyum yang tak pudar-pudar.
Aku mengaduk tasku dan mengambil Aqua botol untuknya. Dia nyengir dan meneguknya hingga hanya tersisa setengah.
Lama kami hanya terdiam. Diam yang sangat dimanfaatkan aku untuk menatapi dan meresapi wajah laki-laki itu, yang selalu terlihat berfikir dan seolah menanggung sesuatu yang berat dipunggungnya. Aku, yang tak pernah berani bertanya tentang beban itu, hanya berharap dapat mengurangi berat itu dan ikut menanggungnya bersama-sama.
Tapi tiba-tiba, laki-laki itu menoleh, dan tanpa memberikan jeda sedikitpun ia berkata:
"Kamu mau gak jadi pacar aku?"
Tak terasa air mataku menetes mengingat pertanyaan pemuda itu, yang tak lain dan tak bukan adalah Gusti.
Untung saja tempat ini gelap, jadi orang-orang tidak akan tau. Dan aku tak perlu repot-repot menyangkalnya.
Aku mulai berfikir lagi, kata Luna, Gusti sudah kenal dan tetanggaan dengan Fransisca sejak lama, kan?
Jadi, apakah alasan Gusti telat datang setiap ada perjanjian denganku itu karena... karena perempuan itu? Karena perempuan itu menahan Gusti? Atau, memang Gusti yang sebenarnya gak mau ketemu sama aku dan memilih perempuan itu?
Hatiku lagi-lagi teriris menyadari kemungkinan yang sangat masuk akal tersebut.
Pikiranku masih terlalu terdistraksi sampai-sampai baru menyadari ternyata sudah ada orang yang duduk disebelahku dan dengan santainya menonton film. Sesekali ia mengambil popcorn yang ada diantara dia dan aku. Aku masih menatapnya.
Dia, Nick.
Jadi dia memilih untuk kesini ketimbang mengobrol lebih lanjut dengan perempuan itu, eh?
Entah mengapa pikiran itu membuat hatiku kembali terasa penuh setelah sebelumnya terasa sangat menyedihkan. Bibirku tersenyum tipis.
Setidaknya ada yang lebih memilihku dari pada perempuan itu, bukankah begitu?
Tiba-tiba, Nick menoleh kearahku dan seolah mengunciku dalam tatapannya. Mata Hijau cemerlang yang selalu membuat siapapun yang menatapnya tenggelam sebentar.
Ia menatapku dalam. Aku menatapnya kembali. Terasa sangat sulit untuk mengabaikan tatapannya yang terasa mengancam.
Wajahnya perlahan mendekat. Sampai aku dapat merasakan hembusan nafasnya yang hangat diwajahku yang basah.
Aku merasa deja vu dengan keadaan ini karena pikiranku langsung mem-bell kejadian saat Nick menjengukku waktu itu.
Aku baru menyadari bahwa air mataku pasti terlihat dalam jarak sedekat ini. Namun ketika tanganku hendak menghapus jejak air mata itu, tangan milik Nick sudah lebih dahulu mengambil start.
Dengan wajah datarnya, ia berkata pelan. Nyaris berbisik. "Setau gue ini bukan film sedih."
Aku membuka mulut hendak berkata sesuatu, tapi tak ada yang keluar dari sana. Jadi aku menutupnya lagi dan justru memilih untuk menggigiti bibir bawahku seperti biasa.
Nick berdecak pelan. Menjauh dari wajahku lalu langsung mengambil telapak tanganku. Memposisikannya agar kami saling berpegangan erat.
"Told ya before. Begini lebih baik." ucapnya sambil tersenyum puas atas hasil karyanya itu.
Wajahnya sangat cute seperti anak kecil umur 5 tahun yang sudah berhasil menghitung sampai seribu.
Mau tak mau aku tersenyum sambil menggenggam erat kembali genggaman itu.
"Ya. Begini lebih baik." ucapku lebih kepada diriku sendiri.
**************
a/n: jadi gue ubah ya warna mata Nick jadi hijau hehehe kalo varo tetep biru dehhhh so sorryyyy
KAMU SEDANG MEMBACA
Between You And Me
Teen FictionIni tentang aku dan kamu. Tentang sebuah spasi yang ada diantaranya. Tentang pertanyaan, Apakah sebuah spasi dapat menghalangi kita?