Fenny's POV
Rasanya baru lima menit aku tidur, tapi guncangan ditubuhku membuatku bangun.
Saat membuka mata, rasanya lebih segar dari pada tadi pagi. Setidaknya, kurasa begitu.
"Fen? lo sakit apaan sih?"
Aku mengerjapkan mataku dan langsung duduk tegak.
Dipinggir kasur sudah ada Luna yang sedang duduk dan dibelakangnya ada Alex yang sedang berdiri.
Ngapain mereka disini?
"yeh bengong kan ni anak." ucap Alex yang lalu berjalan menjauh menuju balkon. Membuka pintunya, membiarkan udara sumpek di kamar keluar dan berganti udara segar masuk dari luar.
"kalian ngapain kesini?" ucapku, masih bingung.
"Yeh songong amat sih lo! Kita ke sini hampir nyasar tau ga! Cuma buat nengokin lo doang dan lo bales kebaikan kita dengan cara ini?! te-ga." Ucap Luna mendramatisir keadaan.
"LEX! LUNA KUMAT!" pekikku sambil kembali berbaring dan menutup kepalaku dengan bantal. Berpura-pura tak ingin mendengarkan Luna.
Alex hanya cekikikan gak jelas.
"Lo kenapa sih? Gamau cerita?" suara Luna melembut. Bisa kurasakan ia sekarang ikut berbaring di sampingku.
Aku kenapa? Aku kenapa apanya?
"Masalah kemarin. Lo......." Alex menggantungkan kalimatnya. Tapi itu saja cukup membuatku mengerti.
Gusti, huh?
Perlahan, aku melepas bantalku lagi dan meletakannya dibawah kepala. "i'm okay," ucapku.
"liar." gumam Alex pelan namun sangat cukup untuk terdengar olehku. Ah, dia sengaja.
"terserah, deh."
Untuk kira-kira satu menit penuh, suasana bener-bener sunyi. Sebelum kalimat Luna selanjutnya membuatku terasa terlempar jauh dari ketinggian.
"Katanya, dia itu tetangganya semenjak kecil. Gusti kenal dia sama lama nya kayak dia kenal lo."
sama lama nya kayak dia kenal lo.
Selama itu?
Jadi- Gusti udah nyimpen semua ini sampai selama itu?
"Bokap dia........bokap dia nyuruh Gusti buat....buat deketin lo. Buat suka sama lo." ucap Luna ragu. "Dia.....-"
"Jadi selama ini dia gak pernah bener-bener suka gitu sama gue?" ucapku mengambil kesimpulan sendiri.
Luna menghadapku lalu memegang tanganku erat. "Dia pernah beneran suka sama lo, Fen. Tapi- kayaknya, sekarang gue setuju sama quotes yang istimewa akan kalah dengan yang selalu ada."
Seketika aku menghadap ke Luna yang juga masih menghadapku. "Apa maksud lo? G-gue..... maksud lo gue gak pernah ada gitu buat Gusti?"
Luna menggeleng, "lo ada, tapi frekuensinya lebih kecil dibanding frekuensi cewe itu yang notabene-nya adalah tetangganya."
Aku mengerjap-ngerjapkan mataku yang mulai berair dan kembali menatap langit-langit kamar. "terus kenapa Gusti gak mutusin gue aja dan bilang yang sebenernya?"
Luna gak jawab.
"mata gak akan bisa bohong. Iya, kan?" ucap Alex tiba-tiba.
"maksud lo?" ucap Luna.
"jujur, udah sering gue liat Gusti pengen ngomong hal serius sama lo, tapi pas dia liat mata lo, dia malah keliatan....ragu." ucap Alex.
"gue gabisa baca pikiran orang, tapi dari yang gue liat, dia gak mau nyakitin lo." lanjutnya lagi.
Hah. Aku tertawa garing. "Terus ini namanya apa?"
Luna semakin memegang tanganku erat.
"tapi yang dia bilang di bandara....... dia bilang dia masih....."
"did you know something about bullshit, Fen? nah, anggap aja begitu." ucap Alex santai.
"udah ih jangan nangis napa!" ucap Luna sambil bangkit.
Aku menarik nafas dalam. "Kalian tau kan, dulu bokap gue sama bokap dia......ada rencana ngejodohin gue sama Gusti? gue.... gue gangerti."
"apa yang gak lo ngerti sih, fen? Rencana itu teteo rencana. Gak akan ada yang tau jadinya bakal kayak gimana." ucap Luna sarkastik. Aku paham, ia mulai tidak suka jika aku terus seperti ini.
Kata-kata yang dimilikinya selalu menamparku keras dan mendorongku untuk tetap tinggal pada realita yang ada.
Tanpa sahabatku itu, aku mungkin akan terus terjebak di dunia fantasi liarku sendiri.
Maka dengan mengambil nafas panjang dan membuangnya pelan-pelan, aku ikut duduk dan tersenyum.
"Ma-"
Drrrttttt Drrrrtttt
"Halo? uh- lagi dirumah Fenny, sejam lagi kek ya?- ih bawel banget sih- IYA IYAAAAAAA BAWEL"
Luna menutup menutup telfonnya dengan kasar. "IH abang gue bawel banget nyuruh balik, katanya ada tamu jauh dateng. Gue balik gapapa nih?"
Aku tersenyum. "Yuk gue anter."
Jadilah kami bertiga jalan ke bawah.
"Makasih ya, tanpa kalian, gue mungkin- ah gatau lagi deh." ucapku terbata-bata. Air mata mengalir begitu saja di pipiku.
"cengeng banget sih temen gue." ucap Alex. Namun tak urung, ia berhenti dan mengelus-elus punggungku lembut. "Yang sabar ya."
Luna ikut berhenti dan tersenyum. "Inget ya," ucapnya menggantung, "Kalau dia terlalu bodoh untuk ngelepasin lo, lo harus lebih pinter untuk ngelupain dia."
Aku yang sedang menghapus sisa-sia air mataku yang masih menggenang, tiba-tiba terhenti hanya karena mendengar kalimat barusan.
Mulutku baru saja terbuka, hendak berbicara, namun satu suara membuatku menghentikan semuanya.
"FENNY!"
suara riang itu, milik mata hijau cemerlang yang baru kukenal satu hari yang lalu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Between You And Me
Teen FictionIni tentang aku dan kamu. Tentang sebuah spasi yang ada diantaranya. Tentang pertanyaan, Apakah sebuah spasi dapat menghalangi kita?