Apa keputusannya memang benar-benar tepat?
Pertanyaan itu terus terulang di kepala Yoshi, yang mana membuat Yoshi terus berpikir terlalu keras. Ia cenderung berpikir hal buruk bahwa keputusannya hanya akan membawanya kepada penyesalan. Tapi di satu sisi pula, ia merasa akan lebih baik dengan keputusan ini, benarkan?
Sekarang, pikiran itu semakin menekannya. Sesaat setelah mobil perusahan mengantarnya untuk terakhir kali hingga berada tepat di depan kediamannya. Tangannya terulur penuh getaran, ia ragu untuk sekedar mengetuk atau bersuara memanggil ibunya. Sebuah agrumen terngiang, Apakah ibunya mau menerima keputusannya?
Tapi waktu tidak akan bisa berjalan mundur, ia tidak akan bisa lari dari konsekuensi keputusannya. Mau sampai kapan ia berdiri mematung di depan pintu? Bukankah ini tidak akan mempengaruhi apa-apa? Percuma. Yang ada hanya memperlambat saja.
Memang benar, ibunya tetaplah ibunya, keluarganya tetaplah keluarganya, ia tidak akan bisa lari, mereka memiliki hubungan darah yang erat. Akan tetapi ini berbeda, Yoshi pernah mengatakan bahwa saat ia pulang dan menginjak kakinya di rumah ini lagi, maka saat itu adalah saat-saat dimana Yoshi telah bisa berdiri dengan gagahnya di atas panggung.
Sayangnya, alih-alih menepati perkataannya barusan, Yoshi malah datang dengan wajah tertunduk, seolah-olah malu akan dirinya sendiri. Ia malah datang dengan suasana suram. Tidak seperti yang dulu ia harapkan. Berlari dari jalanan dan berteriak memanggil ibunya. Mendapatkan sebuah pelukan hangat dan wajah terharu ibunya. Ia tidak bisa menggapai harapannya itu.
Harusnya aku tidak pernah bermimpi menjadi idol.
Maka semua akan lebih baik kan? Ia baru saja membuat ibunya terbang tinggi, namun kemudian menghempaskannya dengan keras ke tanah, benarkan?
Seandainya ia bisa, Yoshi ingin menghapus ingatan ibunya terhadap dirinya. Ia ingin semua orang melupakannya, hingga ia bisa hidup tanpa perlu membebankan orang lain. Seandainya...
Namun, semua kata yang berawalan seandainya akan selalu menyakitkan pada akhirnya. Yoshi tidak akan berharap banyak lagi akan impiannya.
Sekarang ia hanya akan pulang ke rumah dan meminta maaf. Ia berharap keluarganya akan menerimanya dengan lapang dada, dan mau mengerti akan dirinya. Karena demi tuhan, Yoshi lelah, ia ingin merasakan kasih sayang sekali saja, ia ingin seorang memeluknya dan mengatakan, "kau hebat telah bertahan hingga di titik ini," bisakan?
Yoshi masih tetap setia berdiri di depan rumahnya kali ini. Dan dengan perlahan, tangan yang telah ia ulurkan sejak tadi mulai mengetuk pintu rumahnya dengan sangat-sangat pelan. Jantungnya mulai berdegup kencang, padahal ibunya belum muncul.
Tepat setelah beberapa menit ia mengetuk, suara gaduh terdengar dari dalam, sebelum perlahan pintu itu terbuka dan memperlihatkan sosok ibunya yang menatapnya dengan raut bingung.
"I-Ibu...." suara pelannya mengudara, langkahnya perlahan mendekat, tangan besarnya terbuka, hendak memeluk ibunya.
Tapi, tiba-tiba ibunya melangkah mundur, masih dengan raut bingung yang sedari tadi di tunjukkannya. Ia lantas bertanya, "Kau... untuk apa kau disini? Bukankah kau harus mempersiapkan debutmu?"
Pertanyaan itu begitu saja menohoknya, meremat hati kecilnya, rasanya ribuan jarum baru saja menancap sempurna disana. Matanya bergulir bingung, hendak menjawab namun tak berani.
Ia tau semua akan seperti ini, tapi saat terjadi, ia benar-benar ketakutan. Biar bagaimanapun ia mengambil keputusan ini sendiri, ia bisa saja terpukul sangat keras setelah ini.
"Bu... aku--"
"Dia keluar dari Treasure, bu."
Yoshi terhenyak. Matanya bergulir takut ke samping, tepat dibelakang sana, kakaknya datang dengan raut wajah penuh amarah. Juga ponsel pintar di tangan kanannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
[TERBIT] Yoshi Dan Kata Maaf
FanfictionYoshi juga manusia, Yoshi juga bisa merasakan sakit dan kesepian.