Angin berhembus kencang menerbangkan dedaunan kering yang telah gugur memenuhi permukaan tanah. Sinar matahari yang cukup menyengat tampak tidak menyurutkan semangat seorang anak laki-laki yang sedang mengumpulkan bunga di sebuah taman.
Peluhnya bercucuran, tetapi senyum di bibirnya tak pudar sedikitpun. Dengan penuh kehati-hatian anak itu merangkai bunga-bunga yang telah dikumpukannya menjadi sebuah mahkota bunga yang indah. Senyumnya semakin mengembang, dikala melihat seorang wanita bersurai putih keperakan melambai kearahnya, wanita itu adalah lu mei
"Yun hai! Apa yang sedang kamu lakukan di sana?" tanya lu mei kepada anak itu.
"Ibunda, lihat yun hai sudah bisa membuat mahkota!" serunya sembari berlari mendekati lu mei yang ia panggil ibunda tersebut.
Lu mei hanya menggeleng pelan melihat tingkah laku anak kecil itu, lalu merentangkan tangannya membiarkan sang anak masuk dalam pelukannya.
"Yun hai, memang anak ibunda yang pintar." puji lu mei sambil mengelus lembut surai hitam pekat sang anak yang tampak berusaha memakaikan mahkota bunga itu di atas kepalanya.
"ibunda cantik," lu mei tersenyum hangat, ada rasa senang yang begitu membuncah dalam dadanya saat mendengar sang buah hati memujinya.
"Yun hai juga tampan, sama seperti ayah Xi." ucap lu mei lembut. Dengan perlahan lu mei menggendong tubuh mungil yun hai sembari membawanya masuk kedalam kediaman.
"ibunda? Apakah benar yun hai tampan seperti ayah xi?" tanya yun hai sambil memainkan helaian rambut lu mei yang tidak di ikat.
"Tentu saja, tidak ada yang bisa menandingi ketampanan anak ibunda ini," jawab lu mei sembali mengeratkan gendongannya agar yun hai tidak terjatuh.
"Bagaimana yun hai tahu, jika Yun hai tampan seperti ayah xi? Sedangkan yun hai tidak pernah melihat ayah xi. Memangnya kemana ayah xi? Sehingga tidak pernah menjenguk yun hai sama sekali." lirihan yun hai langsung membuat lu mei menghentikan langkahnya.
Tanpa sadar tangan lu mei gemetar, wajahnya memucat seolah tidak ada lagi darah yang mengalir dalam tubuhnya.
"Ayah xi masih sibuk yun hai, jadi ayah xi tidak bisa menjengukmu." jawab seorang pria bersurai putih sambil mengambil alih yun hai kedalam gendongannya, dia adalah mo zhang.
Lu mei terdiam dengan air mata yang mulai berjatuhan dari matanya. Mo zhang menatap sendu lu mei lalu memeluknya dengan yun hai di antara keduanya.
"ibunda? Apakah ibunda baik-baik saja? Mengapa ibunda menangis!" yun hai panik saat menyadari suara isak tangis lu mei yang mulai terdengar menyayat hati. Tanpa sadar yun hai mulai menangis karena tidak tega melihat ibunya yang terus menangis.
"ibunda kenapa? Hiks" tangis keduanya pecah, sedangkan mo zhang terus mencoba menguatkan keduanya sambil terus mengatakan kalimat yang menenangkan.
"Suatu saat nanti, yun hai akan tahu alasan mengapa ibunda menangis. Ibunda harap yun hai kuat menghadapi semuanya." lirih lu mei sembari mengelus lembut surai hitam pekat milik yun hai.
"ibunda yakin yun hai anak yang kuat,"
******
10 tahun telah berlalu dengan begitu cepat. Yun hai kecil telah tumbuh memjadi seorang pemuda tampan yang menjadi rebutan setiap perempuan yang melihatnya.
Namun, sikapnya yang dingin membuat orang-orang berpikir dua kali sebelum mendekatinya. Yun hai jarang sekali berinteraksi dengan teman sebayanya, tidak mengherankan apabila ia tidak memiliki teman satupun.
Seperti saat ini, yun hai berjalan sendirian menyusuri lorong istana menuju ruangan khusus yang di peruntukan sebagai tempat belajar mengajar.
Sesampainya di ruangan itu yun hai melihat begitu banyak anak-anak bangsawan yang tampak bergosip ria. Dia tidak memperdulikannya dan segera duduk di bangkunya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Empress Lu Mei (END)
Historyczne(Part Lengkap dan selesai revisi) violine atau vio seorang ketua pasukan elit sebuah negara maju terkejut ketika mendapati dirinya telah bertransmigrasi ketubuh permaisuri yang terkenal buruk rupa dan tidak memiliki bakat apapun serta tidak disukai...