1. Segelas Ilusi

937 175 58
                                    

"Dia semesta, sukanya bermain dengan manusia bumi."

Namanya Kalila. Terlihat jelas pada lingkaran matanya, menghitam sebab selalu terjaga setiap malam. Matanya seperti kerikil di tengah gurun pasir. Kering. Tidak ada harapan. Tapi, terlihat sangat kuat. Bola matanya berwarna coklat pekat. Wajahnya yang tirus sungguh begitu tenang, tidak terlihat seperti orang baik juga buruk. Tatapannya yang kosong menunjukan bahwa ia memiliki ketenangan yang sangat tidak wajar dibanding orang lain. Aura hidupnya yang tidak pernah bisa ditebak, membuat orang lain lama mengamati.

Berusaha selalu ingin mengerti dirinya. Walau pada kenyataannya, tidak pernah bisa.

Kalila memegang tisu dengan banyak darah di tangan kirinya. Sisa hujan masih terlihat jelas di beberapa peron yang tak beratap. Tubuhnya bersandar pada dinding berwarna putih lusuh. Kereta arah Bogor sengaja ia biarkan lewat beberapa kali. Beberapa orang menatapnya diam-diam. Bingung. Penasaran. Tidak sedikit juga yang menatapnya secara terang-terangan, tanpa mau peduli dari mana darah itu berasal.

Matanya memergoki beberapa orang yang masih menatapnya secara terang-terangan. Tatapan itu dingin. Tak ada emosi. Tapi, siap membunuh. Mereka yang ditatap, bahunya terlihat bergetar, pergi berpindah tempat. Persetan! ucapnya, dalam hati.

Tangan kanannya mengepal kuat. Buku-buku pada jarinya memar, menyisakan sedikit darah. Dua jam yang lalu, ia baru saja selesai menjadikan tembok sebagai samsak dan membuat kedua tangannya babak belur habis-habisan.

Hidup orang yang suka main petak umpet dan senang sekali kabur-kaburan dari semesta memang sangat menyusahkan. Apalagi, terserah mau pulang atau tidak. Tidak ada yang peduli dan tidak akan ada yang mencarinya. Kalila membenci peraturan dalam hidupnya. Sebab peraturan–lah yang sudah membuatnya banyak menelan kecewa. Membuatnya tumbuh dalam sekat. Berdarah. Lukanya terus saja basah. Tidak ada yang mengobati.

Dirinya ingin seperti merpati. Punya sayap dan terbang dengan bebas.

Kalila tertawa kecil mengingat kejadian dua jam lalu. Diingatnya lagi sensasi yang ia rasakan ketika tangannya memukuli dinding kasar pada sebuah gedung tua yang sudah tidak digunakan. Marahnya lepas. Alasannya? Sungguh ingin tahu? Haha.. alasannya tidak penting, sebab ada yang tak sengaja mengotori jaketnya. Entahlah, ia seperti orang tak waras. Yang pasti, rasa sakit itu selalu Kalila nikmati. Sebuah pelampiasan paling tenang, katanya.

Aneh? Tidak. Kalila sudah menikmatinya selama 7 tahun belakangan ini.

Lagi pula, yang membuatnya tertawa bukan sensasi dari luka itu. "Mmphh....." Kalila mendengus pelan. Kilasan balik mengenai sesuatu yang terjadi setelah pelampiasan itu, diam-diam menyesap di dalam otaknya.

Tepat setelah Kalila sadar bahwa tangannya terluka dan memar parah, langit mulai mendatangkan awan gelap,  benar-benar gelap sekali. Pandangannya yang saat itu mulai remang-remang mendapati hal di luar dugaan. Kalila mengernyit. Sosok laki-laki dengan tinggi kurang lebih 170 sampai 175cm, menuntunnya masuk ke teras sebuah club yang masih terbilang sepi.

"Hei, mau apa?!" sadar Kalila.

"Biar dikasih obat, sama teman saya. Jangan ta–" matanya membulat sebab Kalila menjauh dari tubuh jangkung itu, mendorongnya dengan sisa tenaga yang ia miliki. Berlari kembali menuju luar.

"Hei!" seru lelaki asing tadi, cukup kencang untuk jarak yang tidak terlalu jauh.

Kalila menolehkan kepala, memutar bola matanya malas. "O–oke, kamu tunggu di sini. Saya ambilin tisu dulu." tangan lelaki itu menunjuk Kalila, memberi isyarat untuk diam di tempat.

Tatapan Kalila berubah menjadi dingin. Ia refleks menghela napas dengan kasar, bahkan mungkin ranting-ranting di sekitarnya bisa mendengar helaan tersebut. Sementara itu, hampir semua jari tangannya kembali terasa nyut-nyutan. Kalila mendecak beberapa kali, dari gelagatnya jelas sekali bahwa ia ingin cepat-cepat pergi menuju stasiun terdekat. Ia butuh istirahat.

EibisidiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang