26. Kelam

82 54 33
                                    

"Jadi, begini ya rasa sakitnya?"

"Ka...," Anin mengurungkan niatnya untuk berteriak. Keempat gadis itu saling menatap satu sama lain. Kalila berlari sepanjang aspal menuju gerbang kampusnya, bahkan saking fokusnya berlari ia sampai tidak menyadari Anin dan yang lainnya yang sedang berdiri tak jauh dari pos satpam kampus Kalila.

"Dia kenapa? Kok panik banget?"

Anin tidak mendengar pertanyaan Binar, ia kembali menyuruh teman-temannya untuk memasuki mobil dan mengikuti Kalila. Anin merasa dejavu, Kalila juga pernah menunjukkan raut paniknya saat gadis itu cedera sebab terlalu kenjang memukul samsak. Siapa yang bisa bikin dia panik begitu?

Anin tidak bisa berpikir jernih, ia menyetir mobil dalam kecepatan yang cukup tinggi. "Nin, calm down! Gak usah ngebut, yang ada malah kita cela–"

"Rumah sakit?" gumam Binar dan Gea bersamaan.

Anin menelan ludahnya, siapa.., batinnya terus bertanya meminta jawaban pasti. Setelah memarkirkan mobilnya, Anin lari dengan cepat menyusul Kalila. Napasnya terengah-engah, kedua alisnya terangkat, membuat bola matanya membulat sempurna.

"To–tolong biarin saya masuk dok.., s–sa–saya nggak akan buat masalah..," Kalila tercekat. Ia merasa sakit pada sekujur tubuhnya. Tubuh gadis itu lemas seperti kehilangan penyangganya. Saat hampir terjatuh, Anin segera menahannya.

"Ke–kenapa begini.., d–dia nggak boleh mati dulu, Nin.., gue belum bales dendam. Tolong gue.., to–tolong b–bilang sama dokternya buat nyelamatin dia.., g–gue masih belum jadi seniman. Bantu g–"

Anin menggenggam erat tangan Kalila agar gadis itu tidak memukuli dadanya lagi. Anin tidak tahu apa maksud dari perkataan Kalila, balas dendam apa yang sedang ia bicarakan? Inge, Binar, dan Gea, mereka ikut memeganggi dadanya yang tiba-tiba terasa sesak. Ini adalah kali pertama bagi mereka melihat Kalila jatuh. Kalila yang mereka tahu adalah Kalila si gadis dingin dan serius yang terpaksa bersosialisasi karena pekerjaannya.

Kalila tidak ingat apa yang selanjutnya terjadi, gadis itu pingsan bahkan sebelum Anin menenangkannya. Dokter menduga bahwa sepertinya Kalila belum makan sejak pagi, bibirnya membiru, suhu badannya juga tiba-tiba naik dengan cepat.

Tak lama setelah Kalila mendapatkan perawatan, Amber di bawa ke ruang ICU karena kondisinya yang sangat buruk.

Wanita yang usianya hampir menginjak 50 tahun itu mengalami kecelakaan tunggal, karena sopir taksinya yang mengantuk. Pak Tomo sudah mencoba untuk menghubungi semua kontak dalam keluarga Amber yang ia punya, satu-satunya yang mengangkat panggilan tersebut hanya Kalila. Ayahnya baru membalas pesan pak Tomo beberapa menit setelah mereka sampai di rumah sakit.

Sedangkan di tempat lain, Ale berlari terengah-engah masuk ke dalam UGD. Ia tidak peduli dengan orang-orang yang memandangnya heran dan kasihan. Hanya Fareed yang ada di kepalanya. Hanya lelaki itu yang ingin ia ketahui keadaannya.

Ale ingin berteriak sekeras yang ia bisa sampai membuat gendang telinga orang-orang kesakitan. Ale ingin terbang setinggi mungkin dan menjatuhkan dirinya secepat cahaya. Tapi, ia sadar bahwa itu tidak akan megembalikan nyawa Fareed dan membuatnya terbangun.

Ale tidak pernah berpikir bahwa kejadian seperti ini akan kembali terulang dalam hidupnya.

Ale tidak akan melihat Fareed lagi.

Tidak ada lagi senyumnya, tawanya yang renyah, semuanya sudah tidak ada.

Semuanya sudah mati.

Ale memukul dengan keras meja yang terletak di samping ranjang. Cucuran air mata mulai menetes satu per satu. Mata yang tidak pernah mengucurkan air mata sederas sejak kematian Rayan, akhirnya kali ini kembali keluar atau bahkan jauh lebih deras.

EibisidiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang