15. As abcdklise

114 61 48
                                    

"Nggak apa-apa. Sebuah omong kosong, 'kan?"

Waktu menunjukkan pukul tiga sore tepat. Kalila benar-benar pergi ke kampusnya. Jika kalian bertemu dengannya, ia memakai sweater biru langit, celana bahan hitam, juga sepatu yang senada dengan sweaternya. Ah, tidak lupa, tote bag berwarna hitam dengan gambar anak kecil yang sedang bermain hujan. Gadis itu tidak memakai kacamatanya, sebab bingkainya patah akibat kejadian semalam.

Kalila terduduk di sebuah tangga kecil, tepat di depan studio foto. Tepat di depan sekretariat BEM-nya. Menyandarkan punggungnya ke pintu kaca di belakangnya, matanya sesekali tertutup. Mengatur napas dan membiarkan bau tanah menyesap masuk ke rongga hidungnya. Hujan tiba-tiba saja turun saat ia ingin beranjak pulang. Terasa sangat sejuk, juga bisa membasuh lukanya di sisi lain. Ruang dalam kepalanya terlihat lebih kacau dari kamarnya sendiri. Dan, ia menemukan Rayan di sana. Tidak ada getir marah dan sedih lagi. Sosok itu, kini terasa sangat dekat dengannya. Seakan Kalila tidak pernah kehilangan lelaki itu pada bagian hidupnya dari sisi manapun.

Dia memang bisa menenangkan segalanya.

Kalila membuka mata. Ia menatap ke arah lahan di seberangnya yang ternyata kosong. Tidak ada siapa-siapa selain hujan yang turun semakin deras. Memangnya kamu berharap siapa Kalila? Berharap dia hidup lagi? Konyol. Tiba-tiba, ingatan tentang apa yang terjadi sebelum ia berangkat menuju kampusnya tampil begitu saja di depan mata.

10:30. Kalila melihat pak Tomo yang sudah sampai rumah lagi, ia mengira pria tua itu akan sekalian menunggu sang bunda, tapi tidak. Kalila mengatakan bahwa ia ingin diantar ke kampusnya, dan beliau menyetujui hal itu. Gadis itu tidak tahu bahwa seseorang menunggunya di depan rumah. Ia duduk di sebuah warung yang letaknya benar-benar berseberangan dengan rumah biru milik keluarga Kalila.

Kalila membukakan pagar untuk pak Tomo, tenang baru saja menyapanya. Tapi, tidak bertahan lama. Kalila melihat sosok yang semalam memakinya sudah berdiri di sana. Tangannya sempat berhenti. Gejolak pada batinnya kembali membara. Ada perasaan sesak yang begitu besar menjalar dan berhasil membekap pita suaranya. Mbok Mar datang di waktu yang tepat. Beliau mengambil alih apa yang Kalila lakukan.

"La....," entah kapan laki-laki itu mendekat, langkahnya tidak terdengar sama sekali. Mbok Mar yang berdiri di ujung sana dapat melihat tangan Kalila mengepal. Matanya menunjukkan sesuatu yang dilihatnya semalam.

"Ngapain lo kesini?" tanyanya tanpa melihat sang lawan bicara.

"G–gue minta maaf soal semalam. Gue–"

"Mending lo pulang, gue lagi gak ada waktu buat ngomongin ini," Kalila memotong ucapan laki-laki itu. Terlihat jelas ia sedang menahan takut. Pagi itu adalah pertama kalinya bagi Kalila bicara dengan seseorang tanpa mau menatapnya. Ale menahan langkah gadis itu. "Sebentar, gue cuma minta waktu lo lima menit. Gue benar-benar minta maaf. Itu semua diluar kendali gue, La. Gue–" kalimatnya lagi-lagi terpotong. Kini, Kalila menatap Ale dengan dalam.

"Kenapa? Kenapa harus lo orangnya?" Kalila menahan napasnya, "Lo–kenapa harus lo yang nyebut-nyebut soal kematian Ray?! KENAPA?!!" ia berteriak. Suaranya terdengar sangat menyakitkan. Lagi dan lagi, gadis itu menahan air matanya agar tidak tumpah. Lalu, ia tertawa sinis. Ia mendekat satu langkah. Kepalanya mendongak, menatap mata lelaki yang jauh lebih tinggi darinya. "Hahaha... atau– jangan-jangan selama ini, diem-diem lo menyalahkan gue? Hm?" Telunjuknya mendorong dada bidang laki-laki itu.

Sunyi menyapa keduanya. Suara ranting-ranting pohon terdengar riuh, saling bersahutan sebab angin yang baru saja lewat. Kalila bisa melihat jelas, lelaki, seorang teman dekat, juga teman kecilnya itu menatap ia dengan terkejut. Bak petir di siang hari, Ale benar-benar terdiam kaku. Entah apa yang ia pikirkan.

EibisidiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang