3. Sisi Buruk Dunia

237 76 89
                                    

"I'm sorry, for everything that i've done ..."

Waktu menunjukan pukul 09.45 menit malam. Salah satu bar yang cukup terkenal di daerah Kemang, Jakarta Selatan cukup ramai malam itu karena adanya live musik yang dilakukan oleh band asal bar tersebut. Gadis dengan sweater abu-abu kebesaran itu sedang duduk dengan tenang. Ia mengetuk-ngetukkan jari kanannya di atas meja . Matanya mencari sosok yang membawanya kemari, juga pintu keluar. Gelas berisi soda di hadapannya sudah kosong sejak sepuluh menit lalu. Tidak, ia tidak memesan alkohol malam itu, hanya soda dengan campuran sirup leci dan buah strawberry kesukaannya.

"Lo ngapain disini?"

Gadis itu sedikit terkejut, karena seseorang berbicara tepat di samping telinganya, ia lalu menoleh ke sumber suara. Mengernyitkan dahinya, sebab tak terlalu jelas mendengar kalimat yang baru saja diucapkan oleh orang yang kini sudah berdiri di hadapannya. Ia terlalu fokus dengan alunan musik dan riuh orang-orang yang ada di dalam ruangan itu.

"Sorry, kenapa? Gak denger," ia tidak berteriak, hanya sedikit meninggikan suaranya juga tidak mengubah posisi duduknya.

Kalila bisa melihat bahwa lelaki itu tersenyum tipis, lalu mendekatkan bibirnya ke telinga Kalila. Tidak seperti yang kalian pikir, Kalila langsung menjauhkan dirinya dengan cepat dan berdiri. Lelaki itu terkejut, tapi tetap melanjutkan kalimatnya. Kini, ia berteriak di depan wajah Kalila.

Apa nggak bisa teriak di depan muka aja?! Kalila menggerutu dalam hati. Kesal.

"KELUAR AJA! DISINI TERLALU BISING!"

Kalila, gadis itu selalu terlihat tidak pernah punya firasat buruk atau bahkan menaruh curiga dengan siapapun. Tapi, tidak di dalam kepalanya. Ia perencana dan pemikir yang handal. Ia hanya perlu pura-pura terlihat lugu atau bahkan bodoh di depan orang lain. Tujuannya sederhana, agar mereka lebih banyak bicara sedangkan isi kepala Kalila akan sibuk menganalisa.

Lalu kemudian, ia mengangguk setuju, dan mengikuti langkah kaki lelaki tersebut untuk keluar.

Sampai di halaman bar, mereka disambut angin malam yang sedikit kencang. Ia sedikit membutuhkan udara segar dari tadi. Sialnya, ia tak tahu jalan menuju pintu keluar, sebab Anin membawanya ke bar yang berbeda dari biasanya. Kalila menghembuskan napasnya lega. Angin malam memang selalu bisa menjadi penenang untuk dirinya kala keadaan disekitarnya sedang riuh.

"Nah, udah di luar."

"....." Kalila menatap laki-laki di depannya dengan datar, kepalanya memutar kembali memori lama. Sepertinya ia familiar dengan wajah laki-laki itu.

"Ah, sorry-sorry. Kenalin, gue Fareed, kerja di sini dan sebentar lagi mau pulang," lelaki itu tersenyum kikuk. Ia lalu menunjukan topi dengan badge name di sisi sebelah kirinya.

"Kalila," jawabnya singkat. Kakinya melangkah dan duduk di salah satu kursi kosong di hadapannya. Kepalanya masih terus mencari wajah di hadapannya ini, ia merasa sebentar lagi otaknya akan menemukan data tentang laki-laki ini.

Lelaki dengan kemeja flanel itu tersenyum lagi, tapi kali ini senyum ramahnya yang ia tunjukan. "Iya, tau kok. Temannya Ale kan?"

Kalila mengernyitkan dahinya. Bukan. Bukan karena pertanyaan lelaki itu. Aneh memang, tapi pada kenyataannya, ia menautkan kedua alisnya sebab lelaki itu ikut duduk tepat di sampingnya. "Kita pernah ketemu Januari lalu. Lo nemenin Ale sparing futsal di Golden Stick. Ingat?" Fareed bicara lagi, tanpa Kalila bertanya apapun.

Ah, bener! Dia tangan kanannya Ale, cowok paling berisik. Oh, c'mon jangan jadi annoying, please. Batinnya mendengus. Kalila benar-benar mengingatnya, "Iya-iya, ingat kok."

EibisidiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang