14. Sesuatu yang Lain

105 62 71
                                    

"Dia yang paling dekat, ternyata bisa menghancurkan segalanya."

Kalila belum tidur, atau bahkan lebih tepatnya ia tidak bisa tidur sama sekali. Ada ruang rahasia di dalam kamarnya. Perpustakaan mini yang sengaja dibangun oleh sang Ayah karena kecintaan Kalila terhadap sastra. Ruangan itu dibuat kedap suara oleh Kalila, sejak tahu emosinya dalam masalah. Satu-satunya ruangan yang bisa dijadikan pelampiasaan saat emosinya sedang tidak baik-baik saja. Dan, pagi ini ruangan itu terlihat mirip seperti gudang yang tidak terurus.

Kacau. Semua buku-buku yang ada di sana berserakan di lantai. Dua botol kaca bekas parfum berhasil ia banting semalam demi membantu emosinya agar kembali stabil. Ada rasa sesak yang begitu sakit dan tidak bisa ia tahan. Ia juga tidak bisa menangis. Tunggu.., kalian bertanya soal apa? Tangannya? Ah, benar! Ia juga menghabiskan sisa malamnya dengan membuat empat garis barcode pada tangan kirinya di dalam kamar mandi. Dan, ya, ia baru saja selesai mengobati luka itu.

Kalila tidak pernah membiarkan lukanya terbuka dan dilihat orang lain. Jika orang lain sampai tahu, itu adalah penghinaan besar bagi dirinya. Ia sudah cukup dipandang aneh karena tidak banyak bicara dan selalu menghindar dari keramaian, dan ia tidak ingin tatapan intimidasi itu bertambah dua kali lipat.

Kembali ke malam tadi.

Ale jelas marah pada Kalila. Laki-laki itu tidak banyak bicara selama mengantarkan Kalila pulang. Tidak sampai rumah, hanya sampai taman dekat rumah Kalila. Tapi, hal lain terjadi di luar dugaan Kalila. Ale berhasil membuat Kalila menjadi sangat kacau. Emosinya memuncak tidak karuan.

"Udah berapa lama, La?" suaranya yang dalam mampu menahan Kalila untuk tidak pergi dari sana. Ia melihat laki-laki itu turun dari motornya, duduk di sebuah kursi panjang dibawah remangnya lampu taman.

Kalila tidak menjawab, membuat Ale mengembuskan napasnya kasar. "GUE TANYA UDAH BERAPA LAMA? LO GAK DENGER HAH?!" lelaki itu berteriak cukup kencang, membuat Kalila terkejut. Apa ia lupa bahwa Kalila tidak bisa dibentak sedikit pun? Napasnya yang sedari tadi masih dapat dikontrol, kini tidak bisa lagi. Ale kembali berdiri tepat di depan Kalila. Kedua mata manusia itu bertemu.

"Urusan lo apa kalo gue kayak gitu?" Kalila maju satu langkah, memotong tipis jarak di antara keduanya. Mata gelap milik Kalila, Ale tidak pernah melihatnya.

"Sekali lagi lo ngebentak, gue majuin kaca ini ke mata lo," entah dari mana pecahan kaca yang dipegangnya, Ale cukup terkejut kala gadis itu mengarahkan ujung kaca yang terlihat tajam tepat di depan kedua matanya.

Ale menggenggam pergelangan tangan kanan gadis itu, "Lo mau tusuk gue? Ayo La! Kita buat banjir darah di sini, biar sama kayak kematian Ray..," lelaki itu memiringkan kepalanya, tersenyum bagai seorang penjahat. Kalila tidak terkejut sama sekali.

Namun, mendengar nama Rayan disebut, fondasi mentalnya sekejap hancur.

Ia menarik tangannya kasar, melepaskan diri dari genggaman Ale yang cukup kuat. Kepingan kaca yang bisa saja membunuh laki-laki di depannya itu ia lempar jauh entah kemana. Napas Kalila terengah-engah. Menatap Ale penuh dengan kemurkaan. Matanya memanas menahan tangis yang tak bisa tumpah malam itu.

"Tutup mulut lo Le. Lo gak pantas sama sekali buat bawa-bawa Rayan di sini," suaranya yang tenang, stabil, tapi penuh emosi itu masih membuat Ale tidak sadar bahwa ia melakukan kesalahan yang cukup fatal. "Kenapa? Lo belum bisa move on 'kan dari kematian dia?!" balas Ale dengan suara yang cukup tinggi di akhir kalimat.

"Lo gak tau apa-apa Le soal luka gue, gak usah ikut campur! Lo..., lo gak akan pernah ngerti sama sekali. Orang yang hidupnya udah terjamin kayak lo, apa lo gak bisa diam?! HAH?! LO-"

EibisidiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang